Repelita Jakarta - Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengkritik keras rencana Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus kuota impor barang ke Indonesia.
Andry menyebut langkah tersebut berpotensi mempercepat kerusakan ekonomi nasional jika tidak disertai regulasi yang super ketat.
Menurutnya, apabila kebijakan ini diterjemahkan secara terbuka tanpa kontrol yang memadai, pasar domestik Indonesia akan terancam oleh banjir produk asing murah yang dapat mematikan industri lokal.
“Kita harus jujur, beberapa tahun terakhir saja, kita sudah dihantam habis-habisan oleh krisis overcapacity dan perlambatan ekonomi Cina. Produk-produk murah, bahkan yang ilegal, masuk ke pasar kita dengan sangat mudah. Kalau sekarang kita malah lepas rem, gelombang barang murah ini bisa jadi tsunami bagi industri lokal,” ujar Andry.
Ia menyoroti industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik ringan yang saat ini tengah menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
Andry menyatakan bahwa jika keran impor dibuka secara bebas, tekanan terhadap sektor tersebut akan semakin besar.
“PHK yang sudah besar akan makin meluas. Ujungnya, daya beli masyarakat juga ikut runtuh karena masyarakat kehilangan pendapatan,” tegasnya.
Andry juga menilai kebijakan ini menunjukkan minimnya sense of urgency dari Presiden Prabowo dalam membaca situasi ekonomi.
Menurutnya, tanpa daya beli masyarakat, maka konsumsi rumah tangga sebagai tulang punggung perekonomian nasional akan melemah.
“Ekonomi kita masuk ke lingkaran setan. Industri jatuh, konsumsi lesu, investor kabur, ekspor lemah, impor merajalela. Ini jelas krisis struktural,” ujar Andry.
Ia menyebut pernyataan Prabowo bertolak belakang dengan arah kebijakan pemerintah selama ini yang menekankan kemandirian ekonomi.
“Arahnya ke mana sebenarnya? Di satu sisi kita gembar-gemborkan swasembada pangan, energi, dan hilirisasi, tapi di sisi lain kita justru membuka keran impor sebebas-bebasnya. Ini kontradiksi terang-terangan,” katanya.
Andry juga mengingatkan bahwa kebijakan pembukaan impor secara masif akan memperburuk iklim investasi dalam negeri.
Menurutnya, investor akan kehilangan minat membangun industri di Indonesia jika pasar domestik dikuasai oleh barang impor murah.
“Kalau pasar domestik dibanjiri impor murah, logika investor sederhana, buat apa bangun pabrik di sini? Lebih murah ekspor dari negara mereka sendiri atau dari kawasan lain yang lebih kompetitif,” ungkapnya.
Dari sisi eksternal, Andry membeberkan bahwa neraca perdagangan Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.
Dalam tiga tahun terakhir, meskipun masih mencatatkan surplus, nilainya terus menyusut dari 54,5 miliar dolar AS pada 2022, menjadi 37 miliar dolar AS di 2023, dan turun lagi ke 31 miliar dolar AS pada 2024.
“Ekspor kita ditekan tarif Trump, impor kita buka liar, cadangan devisa makin terkuras, rupiah tertekan. Ini resep menuju krisis, bukan jalan keluar dari tekanan tarif Trump,” tambah Andry.
Ia menegaskan bahwa kebijakan ini tidak boleh dibiarkan berkembang liar tanpa kontrol dan harus diatur dengan peraturan yang selektif serta berpihak pada kepentingan nasional.
“Kalau tidak, kita bukan hanya bicara soal industri lumpuh atau devisa habis. Ini soal kejatuhan daya beli rakyat, gelombang PHK yang makin membesar, dan hilangnya kepercayaan pada arah kebijakan ekonomi kita,” tandas Andry.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok