Repelita, Jakarta - Isu mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali mencuat ke permukaan.
Pengamat politik menilai bahwa sikap Presiden dalam menanggapi polemik ini tidak bisa dianggap sepele, mengingat posisinya sebagai kepala negara.
Gugatan terkait dugaan penggunaan ijazah palsu oleh Presiden Jokowi diajukan oleh Bambang Tri Mulyono ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Oktober 2022.
Gugatan tersebut juga melibatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai pihak tergugat.
Bambang menuduh Jokowi menyerahkan dokumen ijazah yang tidak sah sebagai syarat pencalonannya dalam pemilihan presiden.
Menanggapi isu tersebut, Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Ova Emilia, menegaskan bahwa Presiden Jokowi adalah lulusan sah dari Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980 dan lulus pada tahun 1985.
Ia menyatakan bahwa klarifikasi ini merupakan bentuk tanggung jawab institusi terhadap alumninya.
Selain itu, mantan Kepala SMAN 6 Surakarta, Agung Wijayanto, menyatakan bahwa dokumen ijazah Presiden Jokowi masih tersimpan di sekolah tersebut dan dapat diverifikasi.
Agung menambahkan bahwa Jokowi adalah bagian dari angkatan pertama sekolah tersebut yang masuk pada tahun 1976.
Politikus PDIP, TB Hasanuddin, menyebut tuduhan terhadap Presiden Jokowi sebagai upaya mencari sensasi.
Ia menegaskan bahwa Jokowi dikenal oleh teman-teman kuliahnya dan dosen pembimbingnya di UGM.
Dari pihak pemerintah, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Joanes Joko, menilai bahwa isu ijazah palsu ini hanya bertujuan untuk memunculkan kegaduhan dan tidak memiliki empati terhadap kondisi bangsa yang sedang menghadapi tantangan global.
Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan, Juri Ardiantoro, menambahkan bahwa isu ini digulirkan karena adanya kekhawatiran terhadap pengaruh Presiden Jokowi pada Pemilu 2024.
Ia menjelaskan bahwa saat menjabat sebagai Ketua KPU Provinsi DKI Jakarta dan Komisioner KPU RI, proses verifikasi terhadap dokumen Jokowi telah dilakukan dan tidak ditemukan adanya ketidaksesuaian.
Meskipun berbagai klarifikasi telah disampaikan oleh institusi terkait dan pihak pemerintah, pengamat politik menilai bahwa sikap Presiden dalam menanggapi isu ini tetap penting.
Sebagai kepala negara, transparansi dan keterbukaan informasi menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

