Repelita Jakarta - Pada malam takbiran 30 Maret 2025, publik Jakarta dikejutkan dengan ambruknya sistem layanan digital Bank DKI. Tidak hanya ATM yang lumpuh, seluruh kanal digital banking, dari mobile hingga sistem backend, mengalami total failure. Krisis ini memperlihatkan masalah mendalam dalam manajemen risiko dan tata kelola sistem informasi yang dijalankan oleh Bank DKI, sebuah bank milik pemerintah daerah.
Langkah cepat diambil oleh Gubernur DKI, Pramono Anung, yang segera mencopot Direktur IT Bank DKI, Amirul Wicaksono, serta memerintahkan audit independen menyeluruh. Reaksi ini bukan sekadar upaya menangani masalah teknis, namun juga sebagai respons terhadap potensi besar kerugian yang dapat mengguncang stabilitas keuangan daerah.
Namun, Bank DKI bukan satu-satunya yang terjerat dalam krisis. Bank Jabar (BJB) sebelumnya telah menjadi sorotan KPK dengan penetapan 5 tersangka dalam kasus korupsi iklan fiktif yang merugikan negara Rp222 miliar. Bahkan, kasus ini turut melibatkan nama mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Di Kalimantan Barat, mantan direktur utama Bank Kalbar kini menjadi buron terkait kasus pengadaan tanah senilai Rp27 miliar.
Masalah-masalah ini menyoroti buruknya tata kelola di BPD, yang sudah memasuki zona krisis. Dengan menggunakan metode Altman Z-Score, Springate, dan Zmijewski, banyak BPD yang menunjukkan indikasi kebangkrutan, terutama yang berhubungan dengan praktik korupsi dan ketergantungan pada proyek-proyek politik yang tidak transparan.
Praktik pemberian kredit berbasis kepentingan politik, bukan analisis keuangan yang sehat, semakin memperburuk kondisi bank-bank ini. Banyak BPD yang terjebak dalam pengelolaan yang tidak berprinsip kehati-hatian (prudential banking), di mana keputusan kredit lebih didorong oleh kedekatan dengan elit politik lokal daripada kebutuhan ekonomi riil.
Netizen mengungkapkan kekecewaannya, dengan seorang pengguna menyatakan, “Bank daerah harusnya jadi solusi bagi ekonomi lokal, bukan tempat bagi elit untuk mengeruk keuntungan pribadi.”
Krisis yang dialami Bank DKI dan bank-bank lain memberi peringatan keras. Bank Indonesia dan OJK harus memperketat pengawasan, dengan fokus tidak hanya pada kepatuhan, tetapi juga pada audit risiko berbasis real-time yang dapat mendeteksi masalah sebelum terlambat.
Selain itu, untuk mencegah dampak domino yang lebih besar, pemerintah pusat harus mempertimbangkan reformasi besar-besaran dalam sistem pengawasan BPD, bahkan dengan merancang holding BPD nasional untuk memperkuat ketahanan sektor ini. Langkah ini akan mengurangi ketergantungan pada sistem yang rapuh dan menciptakan kerangka kerja yang lebih kuat untuk pengelolaan bank daerah.
Di sisi lain, pemerintah daerah sebagai pemilik saham mayoritas BPD juga harus mereformasi peran dan fungsi bank, dengan membatasi pengaruh politik dalam penunjukan pejabat komisaris dan direksi. Integritas dan profesionalisme harus menjadi syarat utama agar BPD dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Jika langkah-langkah ini tidak segera dilakukan, bukan hanya kepercayaan publik yang hilang, tetapi negara juga berisiko menanggung biaya penyelamatan yang sangat besar, mirip dengan apa yang terjadi pada krisis perbankan 1997-1998. Bank pembangunan daerah dapat menjadi pendorong ekonomi lokal, tetapi jika salah urus, mereka bisa menjadi ladang korupsi yang lebih berbahaya dari tragedi BLBI. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok