Repelita Jakarta - Polemik mengenai dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo kembali mencuat di media sosial. Isu ini kali ini diperkenalkan oleh mantan dosen Universitas Mataram, Rismon Hasiholan Sianipar, yang meragukan keaslian ijazah dan skripsi Jokowi sebagai lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Rismon mengemukakan analisis yang menyebutkan bahwa lembar pengesahan dan sampul skripsi Jokowi menggunakan font Times New Roman, yang menurutnya belum ada pada era 1980-an hingga 1990-an, saat Jokowi lulus dari Fakultas Kehutanan UGM pada tahun 1985. Analisis tersebut memicu kontroversi di publik.
Menanggapi hal tersebut, Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta, menyatakan penyesalannya atas informasi yang dianggap menyesatkan. Sigit menegaskan bahwa sebagai seorang dosen, Rismon seharusnya dapat menyampaikan informasi yang berdasarkan fakta dan penelitian yang akurat. Sigit menyarankan agar Rismon membandingkan ijazah dan skripsi Jokowi dengan ijazah lulusan tahun yang sama di Fakultas Kehutanan untuk memperoleh gambaran yang lebih objektif.
Dalam sebuah video yang diunggah di akun Youtube Balige Academy, Rismon menyatakan keyakinannya bahwa ijazah S1 Kehutanan Jokowi tahun 1985 adalah palsu, menyebutkan bahwa penggunaan font Times New Roman dalam ijazah tersebut tidak mungkin ada pada 1985. “100 miliar persen palsu,” tegas Rismon.
Rismon juga mengkritisi penggunaan font pada ijazah tersebut, mengaitkan dengan perbedaan antara versi sistem operasi Windows yang ia klaim baru dirilis setelah 1985, sehingga dianggap tidak mungkin ada pada waktu itu. Ia membandingkan ijazah Jokowi dengan ijazah lulusan lain dari UGM, Bambang Nurcahyo Prastowo, yang menggunakan font standar dari komputer DOS.
Namun, Sigit Sunarta menyatakan bahwa pada saat itu, mahasiswa UGM sudah bisa mencetak sampul dan lembar pengesahan menggunakan percetakan di sekitar kampus, seperti percetakan Prima dan Sanur. Ia juga menjelaskan bahwa meskipun font Times New Roman digunakan dalam sampul dan lembar pengesahan, isi skripsi Jokowi tetap diketik menggunakan mesin ketik.
Mengenai nomor seri ijazah Jokowi, Sigit menjelaskan bahwa pada masa itu, Fakultas Kehutanan memiliki kebijakan sendiri mengenai penomoran ijazah, yang tidak selalu seragam dengan sistem universitas. Nomor tersebut, kata Sigit, didasarkan pada urutan nomor induk mahasiswa yang diluluskan.
Menanggapi tuduhan tersebut, Ketua Senat Fakultas Kehutanan, San Afri Awang, juga menyatakan bahwa tuduhan terhadap ijazah Jokowi yang dipalsukan sangat tidak berdasar. Ia mengungkapkan pengalamannya saat membuat sampul skripsi menggunakan percetakan di sekitar UGM dan menjelaskan bahwa tidak semua mahasiswa memilih mencetak sampul menggunakan mesin ketik.
Frono Jiwo, teman seangkatan Jokowi di Fakultas Kehutanan UGM, juga membantah tuduhan itu. Menurut Frono, ia dan Jokowi sama-sama lulus pada tahun 1985 dengan menggunakan ijazah yang mirip, kecuali nomor kelulusan. Ia menjelaskan bahwa semua mahasiswa menggunakan mesin ketik untuk menulis skripsi, dan sampul serta penjilidan dilakukan di percetakan.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana UGM, Marcus Priyo Gunarto, menilai tuduhan soal ijazah palsu Jokowi sangat lemah. Menurut Marcus, dua dugaan yang dapat diterapkan dalam kasus pemalsuan dokumen sangat sulit dibuktikan karena UGM memiliki bukti yang mendukung bahwa Jokowi memang pernah kuliah, ujian, dan mengikuti yudisium di Fakultas Kehutanan.
Marcus juga mengkritisi pihak yang masih menuduh UGM melindungi Jokowi terkait ijazah palsu. “Tuduhan itu sangat salah dan gegabah,” katanya.
Isu mengenai ijazah palsu Jokowi pernah mengemuka sebelumnya, bahkan sempat dibawa ke ranah hukum. Pada 3 Oktober 2022, Bambang Tri menggugat Jokowi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait dugaan penggunaan ijazah palsu saat pencalonan presiden 2019. Namun, gugatan itu akhirnya dicabut oleh Bambang, dan dirinya dihukum atas tuduhan ujaran kebencian. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok