Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

RUU TNI Dinilai Langkah Mundur Demokrasi, Pengamat Soroti Pasal Kontroversial

Top Post Ad

Soal Revisi UU TNI, Pengamat Hukum di Palangkaraya Soroti Pasal Membatasi Kebebasan Pers

Repelita Palangka Raya - Pengamat hukum Universitas Palangka Raya, Hilyatul Asfia, menilai revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) perlu dikaji lebih mendalam.

Menurutnya, RUU TNI yang akan disahkan dalam rapat paripurna DPR merupakan langkah kontroversial dalam konteks perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.

"RUU ini memicu polemik di masyarakat karena dipandang oleh banyak kalangan sebagai sebuah langkah mundur dalam memperkuat prinsip-prinsip demokrasi dan kontrol sipil terhadap militer," ujarnya.

Hilyatul menekankan bahwa dalam sistem demokrasi harus ada pemisahan yang jelas antara kekuasaan sipil dan kekuasaan militer. Namun, RUU ini dinilai justru memperlemah batasan tersebut.

"Polemik ini banyak muncul karena dikhawatirkan bahwa pengesahan RUU ini akan memberikan lebih banyak ruang bagi TNI untuk terlibat dalam ranah sipil," paparnya.

Ia juga mengingatkan bahwa keterlibatan TNI dalam urusan sipil berpotensi merusak stabilitas demokrasi, menekan kebebasan berpendapat, serta berdampak negatif terhadap kebebasan pers.

Pasal-pasal yang dinilai kontroversial dalam RUU TNI juga menjadi sorotan. Hilyatul menyebut ada tiga pasal yang paling diperdebatkan, yaitu yang mengatur peran TNI dalam kegiatan sipil, pembatasan kebebasan pers, dan perluasan wewenang militer dalam isu politik.

"Yang paling kontroversial adalah pasal yang memberi ruang bagi TNI untuk terlibat dalam kebijakan politik dan pemerintahan. Ini merupakan ancaman besar bagi prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan dalam sistem pemerintahan Indonesia yang demokratis," terangnya.

Jika RUU ini disahkan, menurutnya, akan ada beberapa konsekuensi besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pertama, kemunduran dalam demokrasi. Penguatan peran militer dalam ranah politik dan sipil berpotensi mengurangi ruang bagi demokrasi dan kontrol sipil terhadap militer.

"Ini akan menjadi langkah mundur dalam perjuangan untuk menjaga Indonesia tetap sebagai negara demokratis," ucapnya.

Kedua, pelemahan kebebasan pers dan berpendapat. RUU ini bisa menjadi alat untuk menekan kebebasan pers yang sangat penting bagi terciptanya pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

"Pengawasan ketat dari militer terhadap media bisa mengarah pada kontrol informasi yang merugikan masyarakat," tambahnya.

Ketiga, meningkatnya ketegangan sosial dan politik. Jika militer diberi lebih banyak kewenangan, hal ini bisa memperburuk hubungan antara pemerintah dan masyarakat serta memicu protes yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang menuntut perlindungan terhadap kebebasan dan hak-hak dasar.

Sebagai akademisi, Hilyatul mendesak agar proses pengesahan RUU TNI dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan tetap sejalan dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi, hak asasi manusia, dan pemisahan kekuasaan.

Ia juga mengusulkan agar RUU ini direvisi untuk menegaskan batasan yang jelas antara peran militer dan sipil dalam sistem pemerintahan Indonesia serta mengurangi ruang bagi TNI untuk mengintervensi urusan sipil dan politik.

Menurutnya, pembahasan RUU ini harus melibatkan lebih banyak pihak, termasuk masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga independen lainnya.

"Kenapa perlu dilakukan? Agar dalam proses pembahasan RUU ini dapat menghasilkan regulasi yang adil dan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang sudah dibangun selama ini," pesannya.

Ia menegaskan bahwa RUU TNI harus mencerminkan kepentingan rakyat, bukan hanya kepentingan politik atau militer semata.(*).

Editor: 91224 R-ID Elok

Below Post Ad


Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved