Repelita Jakarta - Pemerintah diingatkan untuk tidak terus-menerus mengabaikan protes masyarakat terhadap kebijakan negara. Baru lima bulan masa kepresidenan Prabowo Subianto, berbagai aksi protes publik sudah berulang kali terjadi, baik di media sosial maupun melalui demonstrasi di jalan.
Pengamat politik Saidiman Ahmad menilai bahwa gejolak protes masyarakat ini sangat merugikan pemerintah. Situasi tersebut dapat mengganggu stabilitas politik dan sosial, serta menjadi awal tergerusnya legitimasi pemerintahan Prabowo.
"Karena biasanya legitimasi itu atau dukungan pada pemerintah bisa kita lihat dari gerakan-gerakan masyarakat sipil, mahasiswa, akademisi yang umumnya itu sangat objektif melihat persoalan," ujar Saidiman.
Penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah pada akhirnya juga berpotensi menghambat efektivitas program kerja negara. Salah satu contohnya adalah penolakan terhadap revisi UU TNI yang terus terjadi hingga massa berdemo di depan Gedung DPR saat rapat paripurna pengesahan UU tersebut berlangsung.
Kendati pada akhirnya RUU tersebut tetap disahkan, Saidiman berpandangan bahwa aksi protes tersebut menunjukkan besarnya kekhawatiran publik terhadap meluasnya peran TNI di ranah sipil.
"Itu kan artinya menyalahi prinsip-prinsip atau nilai-nilai reformasi yang dulu kita perjuangkan bersama. Ada kekhawatiran yang sangat besar dari mahasiswa, kalangan masyarakat sipil, para akademisi soal itu. Apalagi jika mengingat sekarang ini yang berkuasa adalah militer dan bagian dari pemerintahan militer dulu, Orde Baru," jelasnya.
Aksi protes yang terus berlanjut juga bisa berdampak terhadap kepercayaan pasar dan kondisi perekonomian negara.
Menurut Saidiman, jika pemerintah semakin otoriter dan sulit dikritik, maka tidak akan ada akuntabilitas. Situasi seperti ini dianggap lebih buruk daripada tidak adanya demokrasi sama sekali.
"Karena kalau demokrasinya tidak jalan, apa pun yang dilakukan oleh Prabowo, bisa jadi dia tetap berada di dalam kekuasaan dengan cara-cara yang seolah-olah demokratis, tetapi semua kanal sebenarnya ditutup. Misalnya, kalau kita lihat sekarang, partai-partai politik tidak ada yang oposisi, jadi tidak ada kekuatan politik formal yang bisa mengontrol pemerintah," pungkasnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok