Repelita Jakarta - Situasi di Indonesia belakangan ini yang ramai oleh aksi unjuk rasa dengan tagar Indonesia Gelap di sejumlah kota mendapat perhatian dari masyarakat dan pelajar yang berada di luar negeri. Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman menilai demonstrasi mahasiswa dan masyarakat dengan tagar tersebut merupakan bentuk konkret penyampaian keresahan masyarakat akibat kerusakan institusi, pemangkasan anggaran, serta pengambilan kebijakan yang dinilai ugal-ugalan. Selain itu, mereka juga menyoroti pengikisan budaya demokrasi oleh pendekatan represif pemerintah terhadap masyarakat sipil.
"Kami juga sangat menyayangkan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak didukung oleh pendekatan ilmiah, sehingga berpotensi merugikan kehidupan masyarakat Indonesia dan keberlangsungan republik ini dalam jangka panjang," ujar Ketua Umum PPI Jerman 2024-2025, Muhammad Nur Ar Royyan Mas.
PPI Jerman mendesak pembatalan Instruksi Presiden No. 1/2025 yang menetapkan pemotongan anggaran pada pos-pos Kementerian dan Lembaga (K/L). Mereka menilai pemangkasan ini dapat berdampak buruk bagi sektor pendidikan, potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor publik, pelemahan aktivitas ekonomi nasional, serta pengalokasian anggaran untuk tujuan yang tidak jelas.
Salah satu kekhawatiran utama adalah pemangkasan anggaran untuk pendidikan. Pengurangan bantuan operasional perguruan tinggi negeri (PTN) dan lembaga riset dinilai dapat menurunkan aktivitas akademik serta memicu kenaikan biaya kuliah. Beasiswa yang selama ini membuka akses bagi pelajar ke pendidikan tinggi juga berpotensi berkurang.
Selain itu, pemotongan anggaran juga dapat memicu PHK massal di sektor publik. Efisiensi anggaran yang dilakukan berbagai kementerian dan lembaga negara dikhawatirkan akan menyebabkan pemecatan pegawai sipil dan honorer. Hal ini berpotensi menurunkan kualitas pelayanan publik secara keseluruhan.
Lebih jauh, kebijakan ini dinilai dapat melemahkan aktivitas ekonomi nasional. Jika daya beli kelas menengah melemah, maka industri dan sektor komersial akan terdampak, sehingga target pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan pemerintah sulit tercapai.
PPI Jerman juga mengkritik program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang dinilai berisiko mengalami penyalahgunaan dan memiliki efektivitas rendah. Mereka mencatat beberapa kasus keracunan makanan di beberapa daerah serta porsi makanan yang tidak memenuhi standar gizi nasional. Selain itu, biaya besar yang dibutuhkan untuk menjalankan program ini dianggap berpotensi membebani anggaran negara tanpa dampak yang signifikan.
Menurut PPI Jerman, efisiensi anggaran tidak akan berarti jika Presiden Prabowo tetap mempertahankan kabinet dengan lebih dari 100 menteri dan wakil menteri. Komposisi kabinet yang terlalu gemuk berpotensi menyebabkan pemborosan anggaran dan ketidakefisienan pemerintahan. Oleh karena itu, mereka mendesak Presiden Prabowo untuk meninjau ulang susunan kabinet, merombak menteri yang dianggap tidak kompeten, serta mengevaluasi pengangkatan staf khusus presiden yang dinilai harus berbasis kredibilitas dan kompetensi.
Mereka juga menyoroti pengelolaan aset Danantara, yang dinilai kurang transparan dan berpotensi membuka celah bagi korupsi dalam pengelolaan aset negara bernilai triliunan rupiah. PPI Jerman mendesak pemerintah untuk memperjelas kerangka hukum serta mandat operasional Danantara, memastikan transparansi penuh dalam setiap tahap pengembangannya, serta melibatkan pengawasan publik yang kredibel dan independen.
Selain itu, PPI Jerman dengan tegas menolak revisi UU Minerba yang disahkan DPR pada 18 Februari 2025. Mereka menilai revisi tersebut sarat dengan kepentingan politik dan dapat memperburuk kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan yang semakin masif. Kebijakan ini juga dinilai memperpanjang izin operasi tambang batu bara, yang berpotensi meningkatkan deforestasi, pencemaran air, serta mengancam kelangsungan hidup masyarakat di sekitar area pertambangan.
PPI Jerman juga menolak pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan, koperasi, dan UMKM, yang dinilai dapat memicu konflik horizontal dengan masyarakat adat serta menyebabkan tumpang tindih izin usaha pertambangan dengan wilayah hutan lindung.
"Kami sangat mengkhawatirkan minimnya transparansi dalam proses revisi UU Minerba dan dampaknya bagi keberlanjutan lingkungan serta kesejahteraan rakyat," ujar Royyan.
Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih mengedepankan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan rakyat daripada kepentingan politik jangka pendek. Oleh karena itu, PPI Jerman mendesak revisi UU Minerba segera dicabut demi menjaga kedaulatan negara atas sumber daya alam dan mencegah dampak buruk bagi lingkungan serta masyarakat sekitar area tambang.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok