Repelita Jakarta - Proses revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali menuai kritik dari berbagai kalangan, terutama terkait minimnya transparansi dan dugaan pelanggaran terhadap prosedur legislasi yang diatur dalam tata tertib DPR RI.
Arif dari Koalisi Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) menegaskan bahwa revisi yang dilakukan secara tertutup dan terburu-buru ini tidak hanya mengancam prinsip akuntabilitas publik, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai kepatuhan DPR terhadap aturan internalnya sendiri.
Tata Tertib DPR mengatur bahwa setiap perubahan undang-undang harus melalui tahapan konsultasi publik yang memadai, melibatkan berbagai pemangku kepentingan, serta dilakukan secara terbuka agar masyarakat dapat memberikan masukan. Namun, dalam kasus revisi UU TNI, proses ini berlangsung tanpa transparansi yang memadai. Publik dan kelompok masyarakat sipil nyaris tidak diberikan ruang untuk berpartisipasi, sementara substansi perubahan yang diusulkan belum sepenuhnya terungkap ke publik.
“Kami melihat ada pola sistematis dalam revisi UU TNI ini, di mana DPR dan pemerintah justru menutup rapat diskusi dengan masyarakat. Ini adalah kemunduran serius dalam praktik demokrasi dan pengabaian terhadap prinsip keterbukaan yang seharusnya menjadi dasar dalam pembentukan kebijakan publik,” ujar Arif.
Sejumlah anggota DPR yang tergabung dalam Tim Panja revisi UU TNI disebut melakukan rapat di luar waktu yang telah ditetapkan dalam Tata Tertib DPR Pasal 254 Ayat 1, yang menyatakan bahwa rapat hanya bisa dilakukan pada hari Senin hingga Jumat. Namun, Tim Panja DPR diduga menggelar rapat di luar waktu yang telah ditentukan. Selain itu, DPR juga dinilai melanggar Pasal 254 Ayat 2, yang mengatur bahwa rapat DPR harus dilakukan di dalam gedung DPR.
Agenda revisi UU TNI juga tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahunan. Padahal, perubahan UU TNI memiliki dampak strategis terhadap tata kelola pertahanan dan relasi sipil-militer di Indonesia. Jika proses ini terus berlanjut tanpa transparansi dan akuntabilitas, revisi ini berpotensi mengancam prinsip supremasi sipil serta membuka celah bagi penyalahgunaan kewenangan.
FOINI menuntut Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR untuk segera menghentikan proses legislasi yang tidak transparan dan memastikan bahwa revisi ini dibahas secara terbuka, bukan dalam ruang tertutup yang hanya melibatkan segelintir elite politik. DPR juga diminta mematuhi Tata Tertib serta aturan perundang-undangan dalam setiap tahapan legislasi agar tidak menciptakan preseden buruk bagi demokrasi ke depan.
“Jika DPR tetap memaksakan revisi ini tanpa transparansi dan tanpa melibatkan publik, maka ini bukan hanya pelecehan terhadap prinsip demokrasi, tetapi juga pembangkangan terhadap aturan yang mereka buat sendiri,” tegas Arif.
Saat ini, koalisi FOINI berupaya melaporkan seluruh anggota Panja Revisi UU TNI ke MKD. Namun, akses masuk ke DPR pada 20 Maret 2025 ditutup, sehingga pelaporan ke MKD menjadi terhambat. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok