Repelita Jakarta - Danantara baru saja mengumumkan susunan manajemennya dengan sejumlah nama besar yang turut meramaikan jajaran kepengurusan. Beberapa di antaranya adalah Ray Dalio, investor dari Bridgewater, Jeffrey Sachs, pengamat ekonomi dan geopolitik dari Columbia University, serta mantan Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra.
Sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF) nasional, Danantara menjadi perhatian karena pemerintah Indonesia mengandalkannya sebagai instrumen strategis jangka panjang untuk mengoptimalkan pengelolaan aset negara.
Menurut keterangan pemerintah, Danantara tidak hanya akan mengonsolidasikan pengelolaan tujuh BUMN besar seperti Pertamina, PLN, Telkom, MIND ID, BRI, BNI, dan Bank Mandiri, tetapi juga menyalurkan investasi ke sektor-sektor strategis, termasuk energi terbarukan, kecerdasan buatan, dan ketahanan pangan.
Center for Market Education (CME) menaruh perhatian besar terhadap langkah ini. Diversifikasi portofolio yang optimal sesuai dengan prinsip modern portfolio theory dinilai bisa menjadi sarana pengelolaan risiko investasi.
"Langkah ini, jika diimbangi dengan tata kelola yang transparan dan independen, dapat membantu meredam tekanan pasar jangka pendek dan mengarahkan modal ke proyek-proyek global yang menjanjikan," ujar Alvin Desfiandi, Chief Economist CME, di Jakarta.
Dengan dukungan awal sebesar 20 miliar dolar AS yang dialokasikan melalui pemotongan anggaran, Danantara digadang-gadang akan menjadi mesin dividen yang mendukung pembangunan ekonomi nasional secara berkelanjutan.
Pengalaman negara lain, seperti skandal 1MDB di Malaysia dan keberhasilan Temasek di Singapura, menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam mengelola Danantara. Pengawasan yang lemah serta intervensi politik dinilai dapat berujung pada penyalahgunaan dana dalam skala besar.
Untuk menghindari hal serupa, Alvin menekankan pentingnya tata kelola yang kokoh, transparansi dalam pengambilan keputusan, serta akuntabilitas yang ketat.
"Peran dewan pengawas dan manajerial yang jelas, audit independen secara rutin, serta budaya organisasi yang mendorong profesionalisme menjadi kunci agar Danantara dapat beroperasi secara efektif tanpa tercemar kepentingan politik," jelasnya.
Namun, apakah susunan kepengurusan Danantara yang baru diumumkan sudah menjawab ekspektasi? Menurutnya, masih terlalu dini untuk menyimpulkan.
Keberadaan Danantara juga harus dilihat dalam konteks kondisi ekonomi saat ini. Pasar modal Indonesia tengah mengalami gejolak dengan penurunan IHSG yang signifikan pada Maret 2025, mengakibatkan tekanan kuat terhadap rupiah.
Situasi ini mendorong Bank Indonesia untuk mengambil langkah ekspansif, seperti menargetkan pembelian Surat Berharga Nasional (SBN) di pasar sekunder hingga mencapai Rp150 triliun.
Selain itu, penurunan tingkat kepercayaan konsumen menimbulkan kekhawatiran akan melemahnya konsumsi rumah tangga, yang selama ini menyumbang 54 persen terhadap PDB nasional.
"Dengan mengoptimalkan pengelolaan aset negara dan mengarahkan modal ke proyek-proyek produktif, Danantara berpotensi mengurangi ketergantungan pada intervensi moneter yang sifatnya reaktif serta mendukung stabilitas ekonomi secara fundamental," pungkas Alvin. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok