Repelita Jakarta - Pakar hukum Bivitri Susanti menyoroti bahaya militerisme dalam pemerintahan melalui unggahan di media sosial. Ia menegaskan bahwa sistem komando yang menjadi ciri khas militer tidak kompatibel dengan prinsip demokrasi yang partisipatif, transparan, dan akuntabel.
"Militerisme dalam pemerintahan tidak kompatibel karena militer pasti sistem komando," ujar Bivitri dalam unggahan di Instagram Storynya.
Menurutnya, tentara dilatih untuk bertempur dan memiliki pola pengambilan keputusan yang top-down. Jika masuk dalam pemerintahan, pendekatan tersebut bisa menghambat partisipasi publik dan transparansi.
"Kita mau bottom-up, tidak partisipatif, tidak transparan, dan sangat mungkin tidak akuntabel," katanya.
Bivitri menekankan bahwa militer memiliki cara berpikir yang dirancang untuk pertahanan dan keamanan, bukan untuk mengelola pemerintahan demokratis. Oleh karena itu, ia menyarankan agar TNI tetap fokus pada tugas konstitusionalnya dalam menjaga pertahanan negara.
"Kenapa? Itu tadi, karena cara tentara berpikir dan bertindak memang untuk defense. Dan memang bagus karena itulah tugas konstitusional mereka. Just stay there," tambahnya.
Ia juga mengingatkan bahwa sistem komando yang hierarkis dan tertutup dapat menghambat transparansi dalam pengambilan keputusan, serta mengancam prinsip-prinsip demokrasi yang harus dijaga agar tidak tergantikan oleh sistem otoriter.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto mengajukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Revisi ini mencakup dua poin utama.
Pertama, aturan yang mewajibkan prajurit TNI yang ditempatkan di kementerian atau lembaga lain untuk pensiun dini. Menurut Sjafrie, mereka yang sudah pensiun dini tetap harus memenuhi standar kualitas sebelum menduduki jabatan di lembaga yang bersangkutan.
Kedua, dalam revisi yang diajukan, prajurit TNI aktif diusulkan dapat menempati posisi di 15 kementerian dan lembaga negara.
"Jadi ada 15, kemudian untuk jabatan-jabatan tertentu lainnya, itu kalau mau ditempatkan dia mesti pensiun," ujar Sjafrie di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Beberapa kementerian dan lembaga yang diusulkan dalam revisi UU TNI mencakup bidang-bidang strategis seperti Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, dan Lemhannas. Selain itu, juga mencakup Dewan Pertahanan Nasional (DPN), SAR Nasional, Narkotika Nasional, Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, Keamanan Laut, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.
Sjafrie juga menjelaskan bahwa revisi ini tidak hanya mengatur penempatan prajurit TNI di jabatan sipil, tetapi juga mencakup tiga poin utama lainnya, yaitu kedudukan TNI dalam sistem ketatanegaraan, perpanjangan usia dinas, serta pengaturan lebih lanjut terkait posisi TNI dalam pemerintahan.
Mengenai posisi Letkol Inf Teddy Indra Wijaya yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Kabinet, Sjafrie tidak memberikan tanggapan secara langsung. Namun, ia menegaskan bahwa dalam rancangan revisi UU TNI, prajurit aktif yang ingin menduduki jabatan di kementerian atau lembaga tertentu tetap harus pensiun terlebih dahulu. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok