Repelita Jakarta - Thomas Trikasih Lembong mengeluhkan proses hukum yang dijalaninya di Kejaksaan Agung yang dinilai terlalu lama.
"Saya sudah ditahan tiga bulan. Jadi, buat saya agak lama prosesnya," ucap Thomas di Gedung Kejari Jakarta Pusat.
Thomas Lembong merupakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan periode 2015-2016. Pada Jumat, Kejaksaan Agung melakukan pelimpahan tahap dua ke jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat untuk segera diadili.
Selain Thomas Lembong, Kejaksaan Agung juga melimpahkan Charles Sitorus beserta barang buktinya dalam proses pelimpahan tahap dua tersebut.
Saat ditanya wartawan mengenai harapannya setelah berkas perkaranya dilimpahkan, Thomas Lembong menyatakan ingin kebenaran segera terungkap di pengadilan.
"Tentunya, tetap saja kebenaran. Supaya kebenaran terungkap," ujarnya.
Kepala Kejari Jakarta Pusat Safrianto Zuriat Putra mengatakan pihaknya menerima pelimpahan tersangka dan barang bukti dalam kasus dugaan korupsi importasi gula atas nama Thomas Lembong dan Charles Sitorus.
Setelah pelimpahan ini, keduanya akan menjalani penahanan selama 20 hari ke depan, mulai 14 Februari 2025 sampai dengan 5 Maret 2025.
"Untuk Thomas Lembong, ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, sedangkan Charles Sitorus ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung," ujar Safrianto.
"Masing-masing untuk 20 hari ke depan sambil menunggu jaksa penuntut umum menyelesaikan dan menyempurnakan surat dakwaan," lanjutnya.
Surat dakwaan yang dipersiapkan akan diserahkan dalam tahap pelimpahan berkas perkara ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kejaksaan Agung telah menetapkan 11 orang tersangka dalam kasus ini. Dua di antaranya adalah Thomas Lembong, selaku Menteri Perdagangan periode 2015–2016, dan Charles Sitorus, selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI.
Penyidik menilai keduanya telah melaksanakan importasi gula secara melawan hukum pada Kementerian Perdagangan periode tersebut.
Perbuatan mereka dianggap telah menguntungkan pihak lain dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 578 miliar berdasarkan laporan hasil audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). (*)
Editor: 91224 R-ID Elok