Repelita Jakarta - Harapan agar Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto bersatu untuk menghadapi Jokowi tampaknya gagal terwujud. Pertemuan yang dinantikan antara Megawati dan Prabowo tidak kunjung terjadi, sementara Prabowo justru semakin dekat dengan Jokowi. Dalam perayaan HUT Partai Gerindra, Prabowo menunjukkan sikap tunduk kepada Jokowi, yang sebenarnya telah kehilangan statusnya sejak 20 Oktober 2024.
Megawati pun dikabarkan kecewa. Alih-alih pertemuan terjadi, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto justru ditahan oleh KPK. Banyak pihak menduga penahanan tersebut mendapat restu dari Jokowi, yang kini berseteru tajam dengan Megawati. Pimpinan KPK yang dianggap sebagai loyalis Jokowi pun dituding memainkan peran dalam penahanan tersebut. Sebagai respons, Megawati mulai mengganggu program-program Prabowo, termasuk dengan melarang kepala daerah dari PDIP untuk menghadiri retreat yang menjadi andalan Prabowo.
Retreat sendiri dinilai hanya sebagai pencitraan dan pemborosan uang negara, tanpa manfaat nyata bagi rakyat. Program ini disebut bertentangan dengan wacana efisiensi dan pemangkasan anggaran. Bahkan retreat para menteri sebelumnya juga tidak memberikan dampak signifikan dalam 100 hari pertama pemerintahan. Secara harfiah, retreat berarti mundur, dan dalam konteks politik, maknanya bisa menjadi tanda kemunduran atau bahkan pengunduran diri dengan aib.
Di sisi lain, Hasto ditampilkan mengenakan jaket oranye dengan tangan diborgol, mengingatkan pada kasus serupa yang menimpa Habib Rizieq Shihab. Publik menilai ini sebagai bentuk arogansi aparat hukum yang bertindak sebagai alat politik. Namun, Hasto tidak tinggal diam. Ia menyatakan bahwa Jokowi beserta keluarganya harus diperiksa karena diduga memiliki banyak dosa politik dan kebijakan yang merugikan rakyat.
Sementara itu, gerakan rakyat yang mendesak agar Jokowi diadili semakin menguat. Ketegangan antara Megawati dan Prabowo akibat kedekatan Prabowo dengan Jokowi menambah kompleksitas situasi politik. Pekikan "hidup Jokowi" dalam berbagai kesempatan justru dianggap sebagai tindakan yang membodohi diri sendiri. Prabowo pun dinilai semakin kehilangan wibawa dengan tetap berada di bawah bayang-bayang Jokowi.
Pasukan PDIP kini diperkirakan akan bergabung dengan elemen civil society dalam melawan rezim yang dipimpin Prabowo. Aktivis oposisi, mahasiswa, kelompok emak-emak, purnawirawan, ulama, santri, dan jawara bersatu untuk melawan koalisi yang dibangun oleh Jokowi, Gibran, dan Prabowo. Oligarki dipandang sebagai bentuk baru penjajahan yang harus dihadapi dengan perlawanan.
Gerakan ini bertujuan untuk membela ideologi dan konstitusi yang dianggap telah diinjak-injak demi kepentingan investasi dan kroni Jokowi. Prabowo yang seharusnya menjadi oposisi justru ikut serta dalam arus kekuasaan yang dinilai telah merusak sistem negara. Mahasiswa dan aktivis melihat kondisi saat ini sebagai kemunduran besar, bahkan lebih gelap dibandingkan era sebelum reformasi 1998. Opsi revolusi pun mulai digaungkan sebagai jalan keluar.
Saat ini, Megawati dan Prabowo berada dalam posisi berseberangan akibat pengaruh Jokowi. Jokowi yang sejak awal dianggap sebagai biang kerok masalah politik Indonesia, kini semakin menjadi sumber konflik. Desakan untuk mengadili Jokowi terus berkembang, dan keputusan Prabowo untuk tetap bersamanya justru berpotensi memperbesar gerakan oposisi.
Isu ketidakmampuan pemerintahan dalam 100 hari pertama semakin menguat, menandakan bahwa permasalahan tidak hanya terjadi dalam jangka panjang, tetapi sudah terlihat dalam waktu singkat. Wacana Prabowo untuk maju dalam Pemilu 2029 pun mulai dipertanyakan.
"Preet..!" komentar seorang netizen menanggapi wacana tersebut.(*).
Editor: 91224 R-ID Elok