Repelita Bandung - Setelah perusahaan Aguan membantah keterlibatannya dalam proyek pembangunan pagar laut sepanjang 30,16 KM, muncul klaim dari Jaringan Rakyat Pantura (JRP) yang mengaku telah membangun pagar laut tersebut secara swadaya untuk mitigasi abrasi dan tsunami, demi kepentingan nelayan. Klaim ini diajukan oleh Koordinator JRP, Sandi Martapraja, yang menyatakan bahwa pagar laut itu dibangun sebagai langkah untuk melindungi nelayan dari dampak abrasi dan tsunami.
Namun, klaim tersebut segera dipertanyakan. M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan, menyatakan bahwa pengakuan JRP sangat sulit untuk dipercaya, bahkan dianggap sebagai alibi. "Nelayan kita bukanlah nelayan kaya raya yang rela berdonasi milyaran untuk sekedar mencegah abrasi dan tsunami. Kayanya kegedean tuh bohongnya," ujar Rizal, merujuk pada ketidakmungkinan bagi nelayan biasa untuk membiayai proyek besar seperti itu tanpa dukungan pihak lain yang lebih berkuasa.
Rizal juga menegaskan bahwa fakta yang ada menunjukkan bahwa pekerja yang terlibat dalam pembangunan pagar laut tersebut justru berhubungan langsung dengan perusahaan PIK-2, yang dikenal memiliki kepentingan besar di kawasan tersebut. Pekerja yang terlibat tidak ada hubungannya dengan JRP, yang mengaku sebagai pihak yang membangun pagar laut tersebut. Bahkan, Rizal mengungkapkan bahwa Ali Hanafiah Lijaya, yang terhubung dengan Aguan, diduga menjadi pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan pagar laut ini. "Tangan Aguan bernama Ali Hanafiah Lijaya sebagai orang atau dalang yang bertanggung jawab," tambahnya.
Menurut Rizal, pihak penegak hukum seharusnya sudah dapat mulai bertindak setelah adanya penyegelan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dengan memanggil dan menyidik Sandi Martapraja dan Ali Hanafiah Lijaya. Ini menjadi pintu awal untuk membuka tabir dari motif tersembunyi di balik pembangunan pagar laut tersebut. Dugaan adanya rencana pengurugan dan perluasan pantai juga patut untuk segera dibuktikan. Rizal bahkan menekankan bahwa Aguan, yang sebelumnya pernah diperiksa oleh KPK terkait kasus suap mengenai reklamasi pantai utara Jakarta, kembali terlibat dalam proyek besar ini, yang seolah-olah tidak dapat disentuh oleh hukum.
Rizal menambahkan bahwa proyek pagar laut ini tidak mungkin tidak diketahui oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan di wilayah tersebut, seperti Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur, dan aparat penegak hukum. "Hanya diduga semua menutup mata karena hal itu adalah bagian dari proyek besar kepentingan PIK-2," ungkapnya. Rizal mencurigai bahwa Aguan dilindungi oleh kekuatan politik tinggi, yang membuatnya sulit dijangkau oleh hukum. "Kasarnya, siapa sih yang berani mengusik Aguan yang dilindungi Jokowi?" tambahnya.
Menurut Rizal, proyek pagar laut ini hanyalah salah satu dari banyak kasus yang menyelimuti PIK-2. Ia menilai bahwa proyek ini berpotensi merugikan nelayan, dengan alasan pengurugan dan perluasan pantai yang dapat mengancam hak-hak mereka. Oleh karena itu, Rizal menuntut agar pembangunan pagar laut tersebut dibongkar dan dihentikan, serta agar suap-suap yang terjadi di balik proyek ini segera diungkap. Rizal juga menegaskan bahwa PIK-2 tidak hanya menjadi proyek bisnis, tetapi juga alat untuk aneksasi dan kolonialisasi.
"PIK-2 menjadi kamuflase investasi untuk aneksasi, invasi, dan kolonialisasi. Bongkar patung Naga yang menjadi simbol dari arogansi dan penjajahan kaum oligarki. Tangkap Aguan dan Jokowi sang penggerus kedaulatan rakyat, hukum, dan negara," tegas Rizal.
Ia mengingatkan bahwa investasi dalam proyek-proyek seperti ini hanya menjadi jembatan bagi para penjahat untuk merusak demokrasi, dengan menginjak-injak hak-hak rakyat dan negara. Rizal mengajak masyarakat dan pihak berwenang untuk bertindak tegas, membongkar semua kecurangan, dan mengembalikan kedaulatan rakyat yang terancam oleh proyek besar ini.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok