Repelita Bandung - Revolusi hukum menjadi kebutuhan mendesak di tengah kerusakan sistem peradilan di Indonesia.
M Rizal Fadillah, seorang pemerhati politik dan kebangsaan, menyoroti adanya ketimpangan dalam penegakan hukum, terutama dalam kasus korupsi yang merugikan negara hingga 300 triliun rupiah.
Dalam pandangannya, putusan ringan terhadap koruptor seperti yang dialami oleh Harvey Moeis, yang hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara meskipun merugikan negara dalam jumlah besar, menggambarkan betapa bobroknya pengadilan Indonesia.
Fadillah menyatakan bahwa pemandangan yang terlihat di ruang sidang tersebut sangat mengerikan, dengan terdakwa dan hakim yang tampak gembira, seolah mendapatkan hadiah besar.
Hal ini menunjukkan betapa rendahnya kredibilitas, profesionalitas, dan integritas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam menangani kasus-kasus besar.
Menurut Fadillah, Komisi Yudisial seharusnya tidak tinggal diam dan memeriksa Hakim Ketua Eko Aryanto dan dua hakim lainnya yang terlibat dalam putusan tersebut.
Ia juga menekankan bahwa penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court) seharusnya juga berlaku terhadap hakim yang bertindak tidak semestinya, seperti yang terjadi dalam kasus ini.
Fadillah menambahkan bahwa revolusi hukum harus segera dilaksanakan untuk memperbaiki kondisi ini.
Ia mengingatkan bahwa hukum kini telah menjadi alat kepentingan politik dan bisnis, serta dimanfaatkan untuk melindungi kepentingan oligarki dan kelompok tertentu.
Oleh karena itu, revolusi karakter, moral, sosial, hukum, politik, dan agama menjadi langkah yang diperlukan untuk mengembalikan ideologi yang diinginkan oleh para pendiri bangsa.
"Rezim Jokowi telah memperkosa hukum dengan hebat, menjadikannya sarana untuk merekayasa kemenangan politik, memperkaya diri, dan melindungi kelompok-kelompok tertentu," tegas Fadillah.
Ia juga menegaskan bahwa ideologi yang dahulu menjadi dasar negara kini telah dipinggirkan dan dikorupsi oleh elit yang memegang kekuasaan.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok