Repelita Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk menghapus ketentuan presidential threshold 20%, sebuah langkah yang memicu perdebatan dan spekulasi di kalangan publik.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa ketentuan ini bertentangan dengan UUD 1945 karena melanggar hak politik rakyat, kedaulatan rakyat, serta prinsip moralitas, rasionalitas, dan keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam sistem demokrasi.
Namun, keputusan ini tidak lepas dari sorotan kritis. Salah satu aktivis, Said Didu, mempertanyakan waktu pengabulan gugatan ini. Bahkan ia curiga ada kepentingan keluarga Jokowi.
“Sudah puluhan pengaduan tentang hal yang sama sejak lebih dari 10 tahun selalu ditolak sejak masih era Jokowi, dan keluarga mau maju jadi calon. Sekarang diterima, padahal hakimnya masih sama,” tulisnya di akun X Pribadinya, pada Jumat, 3 Januari 2025.
“Masih percaya pada hakim?” lanjut Said Didu yang mencurigai ada kepentingan di balik putusan MK tersebut.
Hal ini memunculkan spekulasi bahwa perubahan ini mungkin memiliki kaitan dengan peluang politik Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, yang disebut-sebut akan maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2029.
Said Didu menggarisbawahi bahwa selama lebih dari 10 tahun, pengajuan penghapusan presidential threshold selalu ditolak oleh MK. Kini, dengan komposisi hakim yang sama, di mana salah satunya adalah paman dari Gibran, gugatan tersebut justru diterima.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat mengenai konsistensi dan independensi lembaga peradilan tersebut.
Penghapusan presidential threshold sendiri berpotensi mengubah dinamika politik Indonesia secara signifikan. Dengan tidak adanya ambang batas dukungan dari partai politik, peluang bagi lebih banyak calon untuk maju dalam pemilihan presiden semakin terbuka.
Namun, di sisi lain, hal ini juga dapat memunculkan kekhawatiran bahwa skenario tersebut dirancang untuk mempermudah Gibran menjadi capres di 2029. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok