Repelita Jakarta - Wacana pengembalian Ujian Nasional (UN) kembali menjadi sorotan publik dan masih menuai pro-kontra di masyarakat. Menteri Pendidikan Dasar Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti, di penghujung tahun 2024 lalu mengumumkan bahwa pemerintah memastikan Ujian Nasional akan diberlakukan lagi mulai tahun 2026.
Meski konsepnya sudah dirumuskan, detail pelaksanaan UN selanjutnya masih dirahasiakan hingga pengumuman resmi dilakukan.
Sebagaimana diketahui, Ujian Nasional sudah dihapuskan pada tahun 2021 lalu saat Nadiem Makarim menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan atau Mendikbud RI pada era kepemimpinan Jokowi.
UN sempat menjadi isu kontroversial di dunia pendidikan Indonesia dan sempat diprotes karena dinilai menghabiskan anggaran yang cukup besar tiap tahunnya. Penghapusan UN diharapkan dapat mengurangi tekanan akademis berlebihan pada siswa, alokasi anggaran yang besar, serta kesenjangan kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Tanpa UN, siswa diharapkan dapat lebih fokus mengembangkan potensi dan menemukan minat mereka. Namun, nyatanya kualitas pendidikan di Indonesia makin menurun.
Pemberlakukan Kurikulum Merdeka menjadikan anak-anak didik malah makin malas belajar, apalagi siswa-siswi semuanya tetap naik kelas meskipun ada beberapa di antaranya yang masih belum kompeten.
Kini, pemerintah berencana mengembalikan UN dengan tujuan utama sebagai alat pemetaan mutu pendidikan. Menurut Abdul Mu'ti, data nilai pelajar dari UN diperlukan oleh perguruan tinggi sebagai bahan pertimbangan penerimaan mahasiswa baru.
Sekum Muhammadiyah itu juga menyebut bahwa sistem penilaian saat ini masih berbasis sampling, sehingga belum sepenuhnya menggambarkan kemampuan individual siswa.
Jika sebelumnya UN dijadikan sebagai syarat atau penentu kelulusan sekolah, Mendikdasmen menyebut Ujian Nasional tahun mendatang dipastikan akan berbeda dengan tahun sebelumnya.
"Kami akan mengkaji semua pengalaman sejarah itu termasuk kekhawatiran masyarakat dan kami memiliki sistem evaluasi baru sehingga UN akan berbeda dengan sebelumnya," kata Abdul Mu'ti dikutip dari akun postingan Instagram @sisiterag.official yang diunggah pada hari Rabu, 1 Januari 2025.
Kabar mengenai UN ini memicu berbagai reaksi di masyarakat, dan ramai diperbincangkan di media sosial hingga sempat jadi trending topic di X (dulu Twitter). Sebagian warganet mendukung langkah ini, dengan alasan bahwa UN dapat memotivasi siswa untuk belajar lebih giat. Tak sedikit warganet yang menyoroti fenomena "masa bodoh" siswa terhadap pendidikan setelah UN ditiadakan.
"Banyak yang berpendapat bahwa penghapusan UN membuat sebagian siswa tidak lagi merasa perlu belajar serius karena tetap naik kelas meskipun hasil belajar mereka kurang memuaskan," tulis salah satu netizen.
"Gak lama lagi akan ada istighosah bersama, try out lebih intens, les sekolah 3x seminggu, seenggaknya bikin anak-anak belajar, miris banget liat anak SMA sampe ada yang gak hafal perkalian," komentar netizen lainnya.
Di sisi lain, ada pula yang menolak wacana ini. Kelompok ini berargumen bahwa UN tidak relevan sebagai satu-satunya indikator mutu pendidikan. Mereka khawatir bahwa pengembalian UN akan kembali menimbulkan tekanan akademis yang besar pada siswa, terutama di daerah dengan akses pendidikan yang masih terbatas.
Selain itu, keberhasilan pendidikan tidak semestinya diukur hanya dari hasil ujian nasional, dan Mendikdasmen diminta mengkaji sistem kenaikan kelas yang dinilai kurang tegas.
"Tolong adakan sistem naik kelas dan tinggal kelas, pak. Sistem ini penting banget. Guru jadi serba salah dan ada beban ketika siswa malas yang seharusnya belum kompeten malah naik kelas, kualitas pendidikan jadi menurun," komentar salah satu netizen.
Meski menuai pro dan kontra, Abdul Mu'ti meminta publik untuk bersabar menunggu pengumuman lebih lanjut. Mendikdasmen menegaskan bahwa konsep UN yang baru telah dirancang untuk memenuhi kebutuhan pendidikan modern, termasuk untuk jenjang penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok