Repelita Jakarta - Polemik terkait pagar laut yang membentang lebih dari 30 kilometer di Tangerang semakin memanas. Pagar yang dipastikan melanggar hukum ini mendapat sorotan publik setelah sejumlah pihak mulai "pasang badan" untuk membela pembangunan pagar tersebut, meski diketahui melanggar Undang-Undang.
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, mengungkapkan bahwa ada pihak tertentu yang dipaksa untuk pasang badan terkait proyek pembangunan pagar ilegal tersebut. Said Didu menegaskan bahwa tindakan tersebut jelas melanggar hukum dan pihak yang terlibat bisa dituntut.
"Sepertinya sudah ada yang 'dipaksa' pasang badan nih. Penegak hukum tinggal menangkap orang ini karena kegiatan tersebut jelas melanggar UU. Cara kerja mereka di PIK-2 selalu seperti ini - pasang bemper untuk dikorbankan," ungkap Said Didu melalui akun media sosial X, Sabtu (11/1/2025).
Sementara itu, sejumlah nelayan yang terkena dampak pembangunan pagar tersebut mengaku dirugikan dan merasa terancam. Salah seorang nelayan, yang namanya disamarkan demi alasan keamanan, mengungkapkan bahwa mereka mulai sadar dengan adanya tiang bambu yang dipasang sekitar 100 meter dari pelabuhan Ketapang pada tahun lalu. Awalnya, mereka tidak curiga karena mengira tiang bambu itu bagian dari program pemerintah.
Namun, pada Agustus 2024, pagar yang dibangun mulai meluas hingga membentang 30 kilometer, menimbulkan kecurigaan para nelayan. "Kaget sih, 'Loh ini untuk apa? Semua juga kaget di sini nelayan. Ini untuk apa nih?" kata nelayan tersebut.
Selain itu, beberapa nelayan mengaku mengalami ancaman setelah melayangkan protes atas pembangunan pagar tersebut. Mereka sempat mengirimkan perwakilan untuk menemui para pekerja yang sedang memasang pagar, meminta mereka menghentikan pekerjaannya. Namun, permintaan tersebut tidak digubris dan beberapa waktu setelahnya, segerombolan orang tak dikenal justru mendatangi kampung nelayan.
Nelayan lainnya juga melaporkan bahwa kepala desa setempat tidak mengetahui hal tersebut dan hanya berjanji untuk mengurusnya. "Kami demo malah dibilang provokator. Dibilang ada catatannya di Koramil, di Polsek, catatan perorangan ada ini nih yang provokator," ungkap nelayan tersebut.
Desas-desus berkembang bahwa pembangunan pagar tersebut terkait dengan proyek perumahan, meski informasi ini belum terkonfirmasi secara resmi. "Rencananya mah gitu dengar-dengar mah ya buat perumahan lah, dengar-dengar mah. Saya mah nelayan dengar-dengar doang gitu," kata salah satu nelayan.
Pembangunan pagar tersebut telah berdampak buruk pada kehidupan nelayan di Desa Ketapang. Selain terpaksa menempuh jarak yang lebih jauh untuk melaut, mereka juga mengeluhkan menurunnya pendapatan akibat biaya solar yang semakin mahal. Nelayan yang sebelumnya bisa meraup Rp150 ribu per hari kini hanya mendapatkan sekitar Rp70 ribu.
"Rp100 ribu aja susah sekarang. Solar biasanya sehari habis seliter, sekarang bisa dua liter," ujar seorang nelayan.
Beberapa nelayan mengungkapkan rasa lega setelah pagar laut ini mendapat perhatian publik dan pemerintah turun tangan untuk menyegel pagar tersebut. Mereka berharap agar pagar tersebut segera dihilangkan demi keselamatan dan kemakmuran mereka.
"Cabut. Cabut, cabut saja. Jadi biar enak. Nelayan dan berangkat malamnya juga pulang malam, berangkat malam juga enak. Jangan mikirin ada risiko," ungkap seorang nelayan. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok