Repelita Jakarta - Penasihat Hukum Harvey Moeis dkk., Junaedi Saibih, menyoroti ketidaktransparanan dalam penyajian bukti kerugian negara dalam kasus korupsi tata niaga timah yang melibatkan PT Timah Tbk. Diketahui, kerugian negara yang dihitung oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebesar Rp 271 triliun.
Junaedi menyatakan, dokumen laporan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) tidak pernah dijadikan barang bukti di persidangan. "JPU tidak pernah melampirkan rincian kerugian Rp271 triliun sebagai barang bukti. Hal ini jelas merugikan kami karena tidak punya materi untuk dipelajari dan dijadikan bahan pembelaan," ujar Junaedi dalam keterangannya, Senin (6/1/2025).
Ahli Penghitung Kerugian Negara, Gatot Supiartono, menambahkan bahwa nilai validitas data patut dipertanyakan. Laporan hasil audit tidak dilampirkan dalam berkas perkara. "Laporannya nggak dikasih oleh jaksa, dan hakim mendiamkan. Harusnya, kalau itu alat bukti, dilampirkan dalam berkas perkara. Bagaimana mau menguji, kalau hanya angka yang disampaikan tanpa prosesnya?" ujarnya.
Gatot juga mempertanyakan profesionalitas audit yang dilakukan BPKP. "Jika hasilnya berubah dari Rp271 triliun menjadi Rp152 triliun, itu menunjukkan proses pemeriksaannya tidak profesional. Data kan tidak berubah, berarti pengolahan bukti yang bermasalah," tegasnya.
Dia menyoroti nilai kerugian negara sebesar Rp152 triliun yang dibebankan kepada lima korporasi oleh Kejaksaan Agung. Kelima korporasi tersebut adalah PT RBT dengan tanggungan Rp38 triliun, PT SB Rp23 triliun, PT SIP Rp24 triliun, PT TIN Rp23 triliun, dan PT VIP Rp42 triliun, atau total Rp152 triliun. Meskipun demikian, masih ada selisih Rp119 triliun yang masih dihitung BPKP.
"Jangan sampai Rp271 triliun sudah diragukan, yang Rp152 triliun diragukan lagi. Pengujiannya di situ aja," jelas Gatot.
Menurut Gatot, ada empat syarat bukti yang harus dipenuhi: cukup bukti, relevan, handal, dan bermanfaat. Jika laporan audit tidak dilampirkan, maka validitas data yang digunakan dalam persidangan menjadi tanda tanya besar. "Kalau laporannya benar, diverifikasi ulang hasilnya akan sama. Tapi kalau tidak boleh diuji, itu aneh. Misteri sekali," bebernya.
Gatot juga menegaskan pentingnya audit ulang dilakukan sesuai standar agar hasilnya dapat dipercaya. "Jadi kalau datanya fair, kasih saja. Nggak mungkin bisa diubah kalau prosesnya benar," pungkasnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok