Repelita Jakarta - Wacana pemerintah untuk membuka hutan seluas 20 juta hektare demi meningkatkan produksi pangan berpotensi menimbulkan kerugian ekologis dan ekonomi yang signifikan. Ketua Bidang Ekonomi Pembangunan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Ibnu Tokan mengungkapkan bahwa pembukaan hutan akan mengakibatkan kehilangan karbon dalam jumlah besar, baik dari biomassa di atas tanah maupun dari tanah itu sendiri.
Menurut Ibnu, setiap hektare hutan yang dibuka dapat kehilangan 300 ton karbon dari biomassa dan 400 ton karbon dari tanah, yang berarti total kehilangan karbon mencapai 700 ton per hektare. Jika dihitung untuk seluruh area yang direncanakan, total kehilangan karbon bisa mencapai 5 miliar ton.
“Konsekuensi ekonomi dari kehilangan ini sangat besar. Dalam konteks perdagangan karbon, nilai ekonomi yang hilang bisa mencapai antara 183,5 miliar dolar AS hingga 550,5 miliar dolar AS,” kata Ibnu.
Selain itu, Ibnu menambahkan bahwa hutan juga memainkan peran penting dalam siklus hidrologi, khususnya dalam mendukung infiltrasi air hujan ke dalam tanah. Tanpa hutan, laju infiltrasi air hujan akan menurun drastis, meningkatkan risiko banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.
“Oleh karena itu, pemerintah harus mencari pembiayaan alternatif untuk program swasembada pangan dan energi, daripada membabat hutan yang berfungsi penting sebagai paru-paru dunia,” tegas Ibnu.
Dia juga mengingatkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara penyerap karbon terbesar di dunia. Negara-negara maju yang tergabung dalam Paris Agreement berjanji memberikan insentif senilai 100 miliar dolar AS per tahun kepada negara-negara yang menyimpan karbon. Pembiayaan ini dapat diperoleh melalui instrumen Green Bond yang mendukung pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Ibnu mengutip pendapat aktivis kedaulatan pangan India, Vandana Shiva, yang menyebutkan bahwa 80 persen pangan dunia dipasok oleh pertanian keluarga yang hanya menggunakan 25 persen dari lahan pertanian dunia. Sementara itu, pertanian besar skala industri menggunakan 75 persen lahan untuk memproduksi hanya 20 persen pangan.
“Pemerintah harus fokus pada peningkatan kesejahteraan petani kecil agar swasembada pangan dapat terjaga dan berkelanjutan,” tambahnya.
Ibnu juga menyarankan agar pemerintah mendorong pembiayaan UMKM Ultra Mikro dengan skema seperti yang diterapkan oleh BRI, Pegadaian, dan PNM, serta bekerjasama dengan negara-negara maju untuk mendapatkan insentif pembiayaan sebesar 100 miliar dolar AS dari Carbon Capture and Storage.
“Daripada terlibat dalam kerusakan lingkungan, lebih baik Indonesia memanfaatkan potensi ini untuk kepentingan pembangunan yang berkelanjutan,” pungkasnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok