Repelita Medan - Usaha untuk memunculkan kembali presidential threshold dalam perubahan Undang-Undang (UU) 7/2017 tentang Pemilu pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 62/2024 dinilai sebagai langkah politik yang sia-sia. Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa putusan MK yang menghapuskan presidential threshold harus ditaati oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan perumusan norma baru untuk menggantikan Pasal 222 UU Pemilu.
Yusril mengatakan bahwa sudah menjadi kewajiban bagi DPR dan pemerintah untuk mengubah Pasal 222 UU Pemilu, yang sebelumnya mengatur syarat minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara nasional bagi partai politik (parpol) atau gabungan parpol dalam pengusungan calon presiden dan wakil presiden untuk pilpres. Pasal ini dibatalkan melalui putusan MK 62/2024.
"Saya berkeyakinan tentu akan ada perubahan terhadap Pasal 222 UU Pemilu. Dan ini bisa muncul sebagai inisiatif dari pemerintah, bisa juga muncul dari DPR," ujar Yusril dalam siaran pers yang diterima wartawan di Jakarta, Selasa (7/1/2025).
Yusril menegaskan bahwa dalam revisi pasal presidential threshold tersebut, pemerintah saat ini dalam posisi tunduk dan patuh terhadap putusan MK. "Apapun putusan yang diambil oleh mahkamah (MK), pemerintah patuh, dan kita tahu putusan MK adalah final dan binding, tidak ada upaya hukum apapun yang dapat dilakukan," jelasnya.
Namun, Yusril mengingatkan bahwa dalam konstelasi politik di DPR terkait revisi Pasal 222 UU Pemilu, bisa saja ada usaha untuk mempertahankan presidential threshold meskipun sudah dihapuskan oleh MK. Yusril meyakini bahwa jika syarat ambang batas minimal pencapresan tersebut kembali dimunculkan dan disahkan dalam UU Pemilu yang baru, maka risiko pembatalan oleh MK akan kembali muncul.
Karena itu, menurut Yusril, usaha politik untuk mempertahankan atau menghidupkan kembali sistem presidential threshold dalam revisi UU Pemilu akan sia-sia. "Setiap keinginan untuk kembali menghidupkan presidential threshold setelah adanya putusan MK, bisa-bisa saja disahkan oleh DPR," katanya.
"Jika pembatasan (presidential threshold) itu kembali muncul, maka MK akan membatalkannya. Kalau ada pihak-pihak yang kembali mengajukan pengujian kepada MK, saya dapat membayangkan atau meramalkan bahwa kemungkinan besar MK akan membatalkan kembali norma UU yang mengandung presidential threshold itu," tambah Yusril.
Sebagai Menko, Yusril mengatakan bahwa dirinya bersama para menteri yang berada di bawah koordinasinya, serta menteri-menteri terkait kepemiluan, sedang melakukan konsolidasi untuk membahas perubahan UU Pemilu pascaputusan MK 62/2024 tersebut. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok