Repelita, Jakarta - Alasan yang diajukan oleh sekelompok orang yang mengklaim pembangunan pagar laut sepanjang 30 km di pesisir Tangerang, Banten, sebagai upaya untuk memecah ombak dan mencegah abrasi pantai, dinilai tidak rasional dan bisa ditertawakan oleh ilmuwan dunia. Kritik tersebut datang dari Pembina Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Mulyanto, yang meragukan klaim tersebut.
Mulyanto menilai penjelasan yang menyebut pagar laut dibangun sebagai pemecah ombak sangat tidak masuk akal. Menurutnya, jika publik mempercayai penjelasan ini, ilmuwan oseanografi dunia akan menertawakan Indonesia.
"Penjelasan bahwa pagar laut itu dibangun untuk memecah ombak sangat irasional. Sekiranya publik mempercayai keterangan ini, maka kita akan ditertawakan ilmuwan-ilmuwan oseanografi dunia," sindir Mulyanto kepada RMOL, Senin, 13 Januari 2025.
Ia juga menambahkan bahwa klaim tersebut sangat kontradiktif dengan kenyataan yang ada di lapangan, terutama mengenai tujuan pagar laut untuk membantu nelayan. Faktanya, pagar laut justru memperburuk kondisi nelayan dengan meningkatkan jarak yang harus ditempuh untuk melaut, sehingga biaya operasional mereka meningkat sementara pendapatan tetap stagnan.
"Pernyataan nelayan pada umumnya, keberadaan pagar laut ini justru merugikan mereka. Membuat mereka harus memutar jauh saat melaut," ungkap Mulyanto.
Ombudsman RI juga sudah menghitung kerugian yang dialami nelayan akibat pagar laut, yang diperkirakan mencapai sekitar Rp8 miliar.
Mulyanto juga menilai klaim bahwa pagar laut dibangun menggunakan dana swadaya nelayan sangat aneh, mengingat biaya yang dibutuhkan untuk membangun pagar laut sepanjang 30 km sangat mahal. Mengingat harga bahan dan jasa untuk pagar laut mencapai Rp500 ribu per meter, maka total biaya untuk 30 km mencapai sekitar Rp15 miliar.
"Kalau dikatakan, bahwa pagar laut dari bambu itu bertujuan untuk pemecah ombak, maka logika ini makin kontradiktif alias tidak rasional lagi. Selama ini pemecah ombak untuk mencegah abrasi dibuat dari blok-blok beton tetrapod kokoh yang ada di pantai yang tersusun seperti puzzle," tegas Mulyanto.
Menurutnya, pagar bambu tersebut lebih tepat disebut sebagai patok atau batas proyek reklamasi.
Mulyanto pun mengingatkan pemerintah untuk lebih transparan kepada publik dan tidak ikut bersandiwara mengenai tujuan sebenarnya dari proyek pagar laut ini.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok