Oleh: Faisal S Sallatalohy - Pemerhati Kebijakan Publik
Cerita ini dimulai pada tahun 2015, saat Bambang Brojonegoro menjabat sebagai Menteri Keuangan. Sejumlah pengusaha dan oligarki, termasuk dari luar negeri, meminta pemerintah untuk menurunkan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 17%. Mereka beralasan agar Indonesia bisa bersaing dengan Singapura dalam menarik modal asing untuk berinvestasi.
Namun, Bambang mempertanyakan bagaimana pemerintah bisa tetap menjaga penerimaan pajak jika tarif PPh Badan diturunkan. Hal ini tentu akan berdampak pada berkurangnya pemasukan pajak negara yang disetor oleh pengusaha, yang bisa memengaruhi kestabilan anggaran negara.
Para pengusaha pun memberikan jawaban yang sederhana: pemerintah bisa menambal kekurangan penerimaan pajak dengan menaikkan tarif PPN secara bertahap. Sebuah solusi yang sangat kontroversial, di mana pengusaha yang memiliki perusahaan dengan pendapatan tinggi meminta keringanan pajak, sementara rakyat harus menanggung beban melalui kenaikan PPN.
Bambang menolak ide tersebut karena dianggap hanya menguntungkan pengusaha dan memberatkan rakyat. Namun, setelah Bambang tidak lagi menjabat, desakan pengusaha terus berlanjut, dan akhirnya diterima di era Menteri Keuangan Sri Mulyani. Pada 5 Mei 2021, Presiden Jokowi mengeluarkan Surpres kepada DPR untuk merevisi UU No. 6 Tahun 1983 tentang pajak. Revisi ini kemudian menghasilkan UU No. 7 Tahun 2021 yang mulai berlaku pada 1 Januari 2022. Dalam revisi ini, tarif PPh Badan diturunkan dari 25% menjadi 22%, sementara PPN dinaikkan secara bertahap, menjadi 11% pada 2022 dan 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.
Kenaikan PPN ini tidak didasarkan pada perhitungan ekonomi yang matang atau kajian terkait ketahanan perekonomian masyarakat. Di tengah situasi ekonomi yang sulit, di mana pengangguran meningkat, kemiskinan meningkat, dan kelas menengah semakin jatuh, pemerintah tetap melanjutkan kebijakan ini atas desakan pengusaha.
Kebijakan ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara Prabowo dan Jokowi dalam hal kepatuhan pada oligarki. Padahal, Prabowo memiliki kewenangan untuk menurunkan tarif PPN, bahkan bisa turun hingga 5% sebagaimana tertuang dalam pasal 7 ayat 3 UU tersebut. Namun, Prabowo justru memilih untuk mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya.
Pada akhirnya, kebijakan menaikkan PPN ini tidak jauh berbeda dengan keputusan-keputusan sebelumnya, yang lebih mengutamakan kepentingan pengusaha ketimbang kesejahteraan rakyat. Meskipun sering kali berpidato tentang pembelaan terhadap rakyat, pada kenyataannya, kebijakan ini justru menunjukkan keberpihakan pada oligarki.(*)