Jakarta, 9 Desember 2024 - Organisasi relawan Projo yang awalnya dibentuk untuk mendukung pemerintahan Joko Widodo kini terancam menjadi proyek politik yang gagal. Projo, yang sempat memiliki harapan untuk bertransformasi menjadi partai politik setelah masa jabatan Jokowi berakhir, mengalami kekecewaan setelah menunda Kongres yang direncanakan berlangsung pada Desember 2024.
Projo, yang dikenal sebagai salah satu organisasi relawan pendukung Jokowi, awalnya bertujuan untuk menjaga stabilitas pemerintahan Jokowi dan menghalangi dominasi oposisi di panggung politik nasional. Namun, dengan berakhirnya periode kepresidenan Jokowi, Projo mulai kehilangan relevansi dan pengaruh politiknya.
Pengamat politik Rocky Gerung menilai penundaan kongres Projo menunjukkan kegagalan ambisi organisasi ini untuk berkembang menjadi partai politik yang solid.
“Projo seharusnya sudah selesai karena fungsinya untuk mengawal kepresidenan Jokowi sudah tidak relevan lagi. Jokowi bukan lagi presiden, sehingga Projo kehilangan daya tarik dan pengaruh politik,” ujar Gerung.
Salah satu faktor utama yang membuat ambisi Projo sulit tercapai adalah berkurangnya daya tarik politik Jokowi setelah tidak lagi menjabat sebagai presiden. Projo, yang selama ini bergantung pada jaringan pengaruh Jokowi, kini terbentur kenyataan tanpa sumber daya dan dukungan yang sama seperti sebelumnya.
“Projo hidup dari jaringan pengaruh Jokowi. Kalau magnetnya sudah melemah, akan sulit membangun partai baru. Jokowi seharusnya mempertimbangkan untuk bergabung dengan partai yang sudah ada, seperti Golkar atau Gerindra, daripada memulai partai yang penuh risiko,” tambah Rocky Gerung.
Projo juga menghadapi masalah kurangnya kekuatan ideologi. Organisasi ini dibangun untuk mendukung Jokowi secara individu, bukan untuk memperjuangkan visi politik jangka panjang. Tanpa Jokowi sebagai pemimpin, Projo tidak memiliki fondasi ideologi yang kokoh untuk berkembang menjadi partai politik yang mandiri.
Meski Projo belum menggelar kongres yang menentukan arah politik mereka, ada spekulasi bahwa mereka mungkin akan beralih mendukung Gibran Rakabuming, putra Jokowi, yang berencana maju dalam Pilpres 2029. Namun, hal ini tidak mudah, karena dukungan untuk Gibran memerlukan upaya lebih dari sekadar koneksi keluarga.
“Gibran harus membuktikan dirinya sendiri. Memiliki kedudukan sebagai anak presiden tidak cukup untuk membangun citra politik Projo,” kata Rocky Gerung.
Projo kini berada dalam situasi yang penuh ketidakpastian. Penundaan kongres juga menjadi sinyal bahwa Jokowi mulai kehilangan pengaruh politiknya, yang pada akhirnya mempengaruhi posisi Projo di panggung politik nasional.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang selama ini menjadi basis politik Jokowi, juga memperhatikan perkembangan ini dengan seksama. Jika Projo gagal bertransformasi menjadi partai, hal ini bisa menjadi pukulan bagi Jokowi yang mungkin harus menghadapi kenyataan tanpa ‘perahu politik’ yang solid.
Dengan penundaan kongres yang menandai ambisi Projo terancam gagal, organisasi ini harus menemukan jalan keluar yang sulit untuk tetap relevan dalam dinamika politik nasional yang terus berubah.
Jokowi mungkin perlu mempertimbangkan langkah politik berikutnya, termasuk kemungkinan untuk bergabung dengan partai besar yang sudah mapan, demi menjaga keberlanjutan pengaruh politiknya.
Apakah Projo akan memilih untuk pensiun atau bertransformasi menjadi organisasi yang lebih besar, hanya waktu yang dapat menjawab. Namun, satu hal yang jelas, tanpa dukungan politik dari Jokowi sebagai presiden, Projo tampaknya sulit mempertahankan posisinya sebagai proyek politik yang sukses.(*)
Editor: 09/12/2024 R-ID