Keputusan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk tidak mengusung Anies Baswedan dalam Pilgub Jakarta dan beralih bergabung dengan KIM Plus membawa dampak besar bagi partai tersebut.
Refly Harun menilai langkah ini telah menggoyahkan soliditas PKS, yang selama ini dikenal memiliki basis kader yang kuat. Sebelumnya, PKS adalah salah satu pendukung utama Anies, namun kini partai ini memilih jalur berbeda, terlihat dalam Pilkada Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Keputusan PKS untuk meninggalkan kesepakatan awal dengan Anies dan memilih koalisi yang berbeda dianggap mengecewakan banyak pendukung. Kepercayaan PKS terhadap soliditas kader internalnya ternyata tidak sepenuhnya sejalan dengan sentimen pemilih umum, yang akhirnya beralih mendukung pihak lain.
Dampaknya, PKS mulai kehilangan pengaruh di wilayah yang sebelumnya menjadi basis kuatnya, seperti Depok dan Jawa Barat. Di Depok, yang selama dua dekade menjadi basis PKS, partai tersebut gagal mempertahankan dominasinya. Di Jawa Barat, yang dulunya menjadi simbol kejayaan PKS, pengaruh partai ini juga mulai memudar.
Koalisi PKS dengan pasangan Ridwan Kamil-Suswono dalam berbagai kontestasi politik juga dianggap tidak membawa keuntungan signifikan. Meski mendapatkan posisi wakil gubernur, peluang kemenangan yang lebih besar dengan tetap mendukung Anies dianggap telah diabaikan.
Refly Harun menyoroti bahwa keputusan ini memicu perpecahan di internal PKS, terutama di DKI Jakarta, di mana soliditas partai mulai dipertanyakan. PKS perlu mengevaluasi langkah-langkah strategisnya agar tidak kehilangan kepercayaan dari konstituen.
“Kekalahan ini seharusnya menjadi pelajaran. PKS bisa saja menjadi wakil gubernur jika tetap bersama Anies, tetapi sekarang mereka tidak mendapatkan apa-apa. Di kabinet pun mereka hanya menitipkan satu menteri, seorang profesional, tanpa ada perwakilan dari politisi PKS,” tegas Refly Harun. (*)
Editor: Elok R-ID