Repelita Jakarta - Pengamat politik Eep Saefulloh Fatah menyoroti perkembangan konflik antara Joko Widodo (Jokowi) dan Megawati Soekarnoputri, yang kini kian memperumit lanskap politik Indonesia.
Dalam analisisnya, Eep melihat bahwa konflik ini tidak hanya mencakup hubungan dua tokoh besar tersebut, tetapi juga membawa dampak besar pada posisi dan strategi politik Presiden Prabowo Subianto.
“Orang mengasumsikan bahwa Prabowo lebih dekat dengan Jokowi dibandingkan dengan Megawati,” ucapnya dilansir dari youtube Keep Talking.
“Izinkan saya membantah teori itu dengan mengatakan bahwa kebutuhan Prabowo itu bukan hanya berterima kasih atas masa lalu, tetapi juga menata masa depan,” sambungnya.
Ia menjelaskan bahwa konflik antara Jokowi dan Megawati semakin menemukan titik baru dengan penetapan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Eep Saefulloh, langkah ini dipersepsikan oleh PDIP sebagai tekanan politik yang secara langsung menargetkan partai dan tokoh-tokohnya.
Ia melihat bahwa situasi ini memperuncing hubungan antara kedua figur tersebut, yang sebelumnya sudah tegang akibat pemecatan Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution dari keanggotaan PDIP.
Lebih jauh, Eep menggarisbawahi bahwa konflik ini memperlihatkan pola oposisi yang jelas antara Jokowi dan Megawati, sesuai definisi konflik politik dalam ilmu sosial.
Ketegangan ini bukan sekadar perselisihan biasa, tetapi melibatkan pertarungan kepentingan yang terasa hingga ke lingkaran elit politik.
Dalam analisisnya, Eep juga membahas posisi Prabowo Subianto di tengah konflik ini. Ia menilai bahwa banyak pihak keliru menganggap Prabowo sepenuhnya dekat dengan Jokowi.
Mengingat dukungan Jokowi di masa lalu yang membantu Prabowo mencapai kursi kepresidenan.
Dari kaca mata Eep Saefulloh, hubungan ini lebih kompleks. Prabowo bukan hanya berterima kasih atas masa lalu, tetapi juga fokus pada masa depan politiknya, yang mengharuskannya menjalin hubungan strategis dengan Megawati.
Ia mencatat bahwa perjuangan politik Prabowo selama lebih dari dua dekade untuk mencapai kursi presiden membuat kontribusi Jokowi terlihat proporsional.
Jokowi, di sisi lain, juga mendapatkan keuntungan besar, seperti mengangkat putranya, Gibran Rakabuming Raka, ke posisi wakil presiden.
Eep Saefulloh menilai bahwa neraca hubungan antara Prabowo dan Jokowi lebih seimbang daripada yang dipikirkan banyak orang.
“Jadi menurut hemat saya, jangan pernah membayangkan bahwa Prabowo sebegitu rendahnya di hadapan Jokowi. Prabowo bukan hanya menerima, tetapi memberi sesuatu,” lugasnya.
Konflik antara Jokowi dan Megawati serta posisi Prabowo yang berada di tengah-tengahnya menunjukkan kerumitan politik Indonesia pasca-pergantian kekuasaan pada Oktober 2024.
Ia menegaskan bahwa konflik ini akan terus berkembang, melibatkan lebih banyak aktor, dan berdampak signifikan pada kehidupan politik dan pemerintahan Indonesia dalam lima tahun mendatang. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok