Jakarta, 6 Desember 2024 – Kurs rupiah semakin tertekan, dan Bank Indonesia (BI) tampaknya tidak berdaya untuk menahan gejolak tersebut. Menurut Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), defisit transaksi berjalan Indonesia yang semakin memburuk menjadi faktor utama pelemahan rupiah. Sementara itu, kebijakan utang luar negeri digunakan sebagai langkah intervensi untuk mempertahankan nilai tukar rupiah.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, sempat optimis menjelang pelantikan Presiden Prabowo Subianto pada Oktober 2024, dengan prediksi kurs rupiah akan menguat mendekati Rp15.000 per dolar AS. Namun, kenyataan tidak sesuai harapan. Kurs rupiah terus merosot akibat defisit transaksi berjalan yang terus berlanjut sejak 2023.
Pada periode Januari-September 2024, defisit transaksi berjalan Indonesia mencapai 7,9 miliar dolar AS. Untuk mengatasi hal ini, BI dan Kementerian Keuangan melakukan intervensi besar-besaran dengan menarik utang luar negeri untuk menutupi kekurangan tersebut.
Intervensi ini termasuk penerbitan surat utang oleh Bank Indonesia, seperti SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia), SVBI (Sertifikat Valuta Asing Bank Indonesia), dan SUVBI (Sukuk Valuta Asing Bank Indonesia), yang bertujuan untuk menjaga stabilitas kurs rupiah. Namun, langkah ini membebani sistem moneter Indonesia, karena utang luar negeri semakin membengkak.
Pada kuartal ketiga 2024, utang luar negeri pemerintah dan BI meningkat pesat, mencapai 19,69 miliar dolar AS dalam hanya tiga bulan. Tanpa penarikan utang luar negeri, diperkirakan kurs rupiah akan semakin terpuruk, dengan proyeksi mencapai Rp17.000 hingga Rp18.000 per dolar AS jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut.
Kebijakan terus-menerus menggantungkan rupiah pada utang luar negeri ini menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia sedang bergantung pada 'doping' utang untuk mempertahankan nilai tukar. Namun, hal ini menyisakan kekhawatiran akan dampaknya pada stabilitas ekonomi jangka panjang.
Pemerintah dan Bank Indonesia kini dihadapkan pada pilihan sulit: apakah mereka akan terus meningkatkan utang luar negeri untuk menjaga stabilitas rupiah, atau menghadapi potensi penurunan nilai tukar yang lebih tajam jika kebijakan ini gagal. (*)
Editor: Elok WA R-ID