Pernyataan Menag Nasaruddin Umar Soal Komitmen Bersihkan Kemenag dari Praktik Tidak Sehat
Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menegaskan komitmennya untuk membersihkan Kementerian Agama (Kemenag) dari praktik-praktik yang tidak sehat. Pernyataan ini menunjukkan adanya pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan yang berkonotasi negatif di dalam lembaga tersebut.
Namun, apa yang dimaksud dengan frasa tersebut? Mengapa kata-kata seperti "korupsi" atau "penyelewengan" tidak digunakan secara langsung dalam pernyataan Menag?
Konotasi negatif yang dimaksud mengacu pada pihak-pihak yang terlibat dalam tindakan merugikan lembaga dan masyarakat, seperti korupsi, kolusi, atau nepotisme. Penggunaan kata "bermain" menciptakan gambaran tentang aktivitas tersembunyi yang tidak transparan dan dapat berdampak buruk terhadap integritas institusi.
Pemilihan diksi yang lebih halus seperti ini mungkin dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan politik dan menghindari polemik yang dapat muncul dari penggunaan kata-kata lebih eksplisit seperti "korupsi". Pemilihan bahasa yang tidak terlalu tegas sering kali menjadi strategi untuk menghindari implikasi hukum atau serangan balik yang dapat muncul jika tuduhan disampaikan terlalu langsung.
Para pejabat publik sering kali memilih kata-kata ambigu untuk menjaga citra dan reputasi mereka, baik secara pribadi maupun institusional. Dalam kasus Menag Nasaruddin Umar, hal ini juga bisa terkait dengan pengalaman masa lalunya ketika menjabat sebagai Dirjen Kemenag, yang pernah diterpa tuduhan yang mengarah kepadanya.
Menggunakan bahasa yang lebih netral memungkinkan pejabat untuk menyampaikan pesan tanpa memicu ingatan publik akan isu-isu lama yang dapat merusak kredibilitas mereka. Meskipun hal ini mungkin membuat publik kecewa karena kurangnya transparansi, bahasa yang hati-hati ini sering kali mencerminkan situasi dan risiko yang dihadapi oleh pejabat tersebut.
Fenomena penggunaan diksi ambigu ini juga dapat mencerminkan kekhawatiran akan konsekuensi hukum atau politik. Di samping itu, ini menunjukkan adanya budaya yang enggan mengakui kelemahan atau kesalahan secara terbuka, serta dinamika kekuasaan internal yang kompleks dalam lembaga terkait.
Secara keseluruhan, pilihan diksi yang digunakan oleh pejabat publik dalam menyampaikan komitmen mereka dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan—hukum, politik, dan citra diri. Meskipun hal ini dapat mengecewakan bagi publik yang menginginkan keterbukaan, penggunaan bahasa yang hati-hati sering kali diperlukan untuk menjaga stabilitas dan mencegah konflik internal.(*)