Oleh: Ahmad Khozinudin -Sastrawan Politik
Judul tulisan ini terinspirasi dari lirik lagu viral yang digubah oleh Roy Suryo, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga era SBY. Lagu satire ini secara jelas menyindir Gibran Rakabuming, Wakil Presiden Prabowo sekaligus putra Presiden Jokowi.
Saya mengakui, lirik lagu ini sangat mendalam. Ia mewakili pikiran dan perasaan kebanyakan rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, seluruh rakyat merasakan kecemasan atas pemimpin yang dianggap tidak memiliki kapasitas. Pemimpin yang, untuk mendeskripsikan situasi dan realitas saja, memerlukan contekan – mirip dengan gaya sang ayah yang kerap membawa catatan.
Baru-baru ini, tersebar video Gibran saat memberikan pengarahan kepada sejumlah kepala daerah. Namun, aura kepemimpinan tampaknya tak terasa. Para audiens menatap dengan pandangan kosong, mungkin karena mereka menyadari bahwa sang pemberi arahan tidak lebih memahami situasi daripada yang mendengarkan.
Beberapa video di media sosial bahkan mengisyaratkan bahwa pengarahan tersebut didasarkan pada teks yang ditampilkan pada satu layar prompter. Kondisi ini menimbulkan kecemasan, baik bagi masa kini maupun masa depan bangsa. Kecemasan ini juga dirasakan sebagai bentuk tanggung jawab generasi saat ini kepada generasi mendatang.
Generasi penerus mungkin kelak akan mempertanyakan, mengapa kita memiliki pemimpin seperti Gibran? Mengapa kita menyerahkan beban kerusakan bangsa kepada mereka?
Kita mungkin memiliki banyak alasan dan jawaban, tetapi tak satu pun bisa benar-benar membenarkan. Karena pada dasarnya, kita bertanggung jawab penuh untuk memastikan bahwa bangsa ini diserahkan kepada generasi mendatang dalam keadaan selamat dan terjaga.
Sesungguhnya, kita tidak mewarisi bangsa ini dari para pendahulu kita. Sebaliknya, kita menerima amanah ini dari anak cucu kita, agar kelak bangsa ini bisa selamat sampai pada generasi mereka.
Hidup dalam ketakutan tampak nyata. Mengerikan berada di bawah kendali pemimpin yang dianggap nir-adab, brutal, bahkan berkarakter psikopat. Jika saja pemimpin berkarakter seperti ini memimpin bangsa hewan, kita akan merasa prihatin kepada bangsa tersebut. Namun, sekarang kita menghadapi kenyataan bahwa pemimpin ini bukan memimpin hewan, tetapi memimpin 282 juta rakyat Indonesia.
Harapan apa yang bisa dibangun dari pemimpin dengan karakter demikian? Situasi saat ini sudah terasa gelap, dan masa depan tampak semakin suram.
Sebagai penutup, saya setuju dengan satire yang disampaikan oleh Roy Suryo dalam lirik lagunya.(*)