Kelas Menengah Terjepit Kenaikan PPN, Konglomerat Masih Kebal Pajak
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang dicanangkan pemerintah justru membebani kelas menengah secara signifikan.
Alih-alih menargetkan kelompok kaya, kebijakan ini membuat masyarakat kelas menengah semakin terpuruk.
Kelas menengah tidak hanya menghadapi tekanan ekonomi yang berat, tetapi juga jarang menikmati subsidi yang seharusnya menjadi hak mereka.
Ironisnya, sementara kelas menengah terus dikejar pajak, kalangan super kaya tampak luput dari kewajiban perpajakan yang lebih besar.
Kelompok kelas menengah selama ini menjadi penyumbang utama pajak negara.
Data Direktorat Jenderal Pajak pada 2017 menunjukkan bahwa masyarakat kelas menengah berkontribusi hingga 21,79% dari total Pajak Penghasilan (PPh).
Sementara itu, para konglomerat hanya menyumbang 0,8% dari total penerimaan pajak nasional.
Perbedaan kontribusi ini menyoroti ketidakadilan dalam sistem perpajakan Indonesia.
Menurut Lina Mufidah dari Sharia Economic Forum UGM, pemerintah seharusnya lebih optimal dalam mengejar pajak dari kalangan super kaya.
Namun, kebijakan fiskal justru lebih membebani masyarakat yang sudah patuh membayar pajak.
Data Forbes menunjukkan bahwa kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia terus meningkat.
Pada 2019, total kekayaan mereka mencapai USD 134,6 miliar, naik USD 5,6 miliar dari tahun sebelumnya.
Namun, pajak kekayaan yang secara khusus menargetkan individu dengan aset besar tidak pernah menjadi prioritas di Indonesia.
Konglomerat hanya dikenai PPh Pasal 25 dan 29, yang berlaku untuk pemilik bisnis dan pekerja lepas.
Menurut Kristiaji, peneliti perpajakan dari DDTC Fiscal Research, peran konglomerat dalam mendukung penerimaan negara seharusnya lebih besar.
Di negara maju, kontribusi pajak dari kelompok kaya bisa mencapai 30-40% dari total penerimaan pajak.
Masalah utama di Indonesia adalah rendahnya kepatuhan pajak dari kalangan kaya.
Berbeda dengan pegawai yang otomatis dipotong pajaknya setiap bulan, konglomerat cenderung memiliki celah untuk menghindari kewajiban pajak.
Minimnya upaya pemerintah untuk mengejar kewajiban pajak dari kalangan super kaya semakin memperburuk ketimpangan ini.
Kebijakan perpajakan yang tidak merata berpotensi menambah beban sosial dan ekonomi bagi masyarakat kelas menengah.
Idealnya, pajak harus menjadi alat untuk redistribusi kekayaan dan mengurangi ketimpangan.
Namun, situasi saat ini justru memperlebar jurang ekonomi antara kelas menengah dan kalangan super kaya.(*)