Kejaksaan Agung telah menetapkan Thomas Trikasih Lembong, atau yang lebih dikenal sebagai Tom Lembong, sebagai tersangka dalam kasus korupsi terkait impor gula. Penetapan tersangka ini diumumkan pada Selasa malam, 29 Oktober 2024.
Tom Lembong berperan sebagai pihak yang memberikan izin impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada perusahaan swasta PT AP pada tahun 2015. Keputusan untuk memberikan izin tersebut dilakukan melalui Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004.
Kejaksaan Agung menyatakan bahwa pemberian izin impor tersebut tidak dilakukan dengan koordinasi yang memadai dengan kementerian terkait lainnya. Tindakan ini memunculkan pertanyaan tentang kepatuhan terhadap prosedur dan transparansi dalam pengambilan keputusan.
Selama ini, Tom Lembong dikenal sebagai sosok yang vokal dalam mengkritik pemerintahan di era Presiden Joko Widodo. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan setelah diangkat oleh Jokowi pada tahun 2015. Pada tahun 2016, ia dipercaya untuk menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, posisi yang diembannya hingga 2019.
Namun, pada periode kedua pemerintahan Jokowi, Thomas Lembong tidak lagi terlibat dalam pemerintahan. Pada tahun 2021, ia bergabung dengan pihak oposisi dan berkolaborasi dengan Anies Baswedan. Hubungan persahabatannya yang dekat dengan Anies menjadi salah satu alasan utama Tom Lembong untuk bergabung ke dalam tim nasional Anies-Muhaimin di Pilpres 2024.
Tom Lembong menyampaikan beberapa kritik tajam terhadap pemerintahan Jokowi.
Pertama, mengenai hilirisasi nikel, ia berpendapat bahwa proses tersebut terlalu dipaksakan. Ia mengingatkan bahwa hilirisasi harus mempertimbangkan aspek lingkungan hidup, keselamatan pekerja, serta rasionalitas pasar. Pendapat ini mencerminkan keprihatinannya terhadap dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari hilirisasi yang tidak terencana.
Kedua, ia menyoroti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Tom Lembong menilai pembuatan Undang-Undang IKN terkesan cepat dan tidak melibatkan masyarakat secara luas. Hal ini, menurutnya, menciptakan peluang yang lebih menguntungkan bagi calon investor ketimbang memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Ketiga, Tom Lembong memberikan tanggapan terhadap pernyataan seorang menteri yang menyatakan bahwa calon presiden yang menolak IKN akan membuat investor ragu. Ia menyatakan bahwa keraguan investor sudah ada jauh sebelum persetujuan IKN, menunjukkan bahwa kritiknya bersifat analitis dan berdasarkan realitas pasar yang ada.
Keempat, ia mengkritik pola ekonomi yang dikenal dengan istilah "Boom and Pass." Ia menjelaskan bahwa pola ini berpotensi merugikan semua pihak, karena setelah harga mengalami lonjakan, kondisi ekonomi akan mengalami penurunan drastis menuju kolaps.
Kelima, Tom Lembong mengungkapkan keprihatinannya terhadap eksploitasi sumber daya. Ia menyatakan bahwa jika eksploitasi nikel tidak dilakukan dengan bijaksana, cadangan sumber daya tersebut dapat habis dalam waktu 15 hingga 20 tahun ke depan. Peringatan ini menunjukkan pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Kritikan-kritikan yang disampaikan oleh Tom Lembong mencerminkan ketidakpuasan terhadap berbagai aspek kebijakan dan pengelolaan sumber daya selama era pemerintahan Jokowi. Posisi kritisnya menunjukkan transformasinya dari seorang pejabat pemerintah menjadi suara oposisi yang berupaya mendorong perubahan positif di Indonesia.(*)