Kesepakatan Kerjasama Indonesia-Cina di Laut Natuna Menuai Kontroversi, Ancam Kedaulatan dan Picu Ketegangan di ASEAN
Kesepakatan kerjasama antara Indonesia dan Cina di Laut Natuna menuai kontroversi. Kesepakatan yang tercapai dalam kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Cina ini melibatkan Joint Development in Overlapping Claims atau pengembangan bersama di wilayah yang klaimnya tumpang tindih.
Laut Natuna, yang kaya sumber daya alam, merupakan kawasan sengketa antara Indonesia dan Cina. Cina mengklaim sebagian besar Laut Cina Selatan berdasarkan Nine-Dash Line, yang tidak diakui oleh Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya.
Ahli hukum internasional, Prof. Hikmahanto Juwana, mengkritik kesepakatan ini. Ia khawatir Indonesia bisa merugikan posisi hukumnya terkait klaim Cina. "Kesepakatan ini berisiko mengakui klaim Cina, meski tidak mengikat," ujarnya.
Kesepakatan ini berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia di Laut Natuna. "Ini bisa memberi ruang bagi Cina untuk memperkuat klaim atas wilayah tersebut," kata pengamat politik Rocky Gerung.
Selain itu, kerjasama ini bisa memperburuk hubungan Indonesia dengan negara-negara ASEAN, seperti Filipina dan Vietnam, yang juga memiliki klaim atas Laut Cina Selatan. Kesepakatan ini berpotensi membuat negara-negara ASEAN menganggap Indonesia lebih condong ke Cina.
Kesepakatan ini juga mengandung dampak ekonomi jangka panjang. Cina bisa mendapatkan keuntungan besar dari sumber daya di Natuna, sementara Indonesia berisiko terjerat ketergantungan ekonomi dengan Cina. "Kebijakan luar negeri Indonesia harus hati-hati agar tidak merugikan kedaulatan dan hubungan regional," tambah Rocky Gerung.
Kesepakatan Indonesia-Cina di Laut Natuna harus dianalisis lebih mendalam. Meskipun tidak mengikat, langkah ini berpotensi menambah ketegangan dengan negara-negara ASEAN dan mengancam kedaulatan Indonesia. Pemerintah Indonesia perlu memastikan bahwa kerjasama ini tidak merugikan kepentingan nasional dan posisi strategis di kawasan.(*)