Pajak Harta Dinilai Lebih Tepat Gantikan PPN untuk Menjamin Keadilan Ekonomi
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dianggap sebagai sumber pendapatan yang mudah dipungut, namun dampak ekonominya justru cenderung buruk secara agregat.
Meskipun pemerintah telah merencanakan kenaikan PPN menjadi 12 persen pada Januari 2025, kemungkinan penundaan masih ada. Masyarakat pun dihantui ketidakpastian ekonomi yang terus mengkhawatirkan.
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto, mengungkapkan bahwa PPN saat ini lebih berfungsi untuk menutupi defisit neraca pembayaran dan angsuran utang negara, yang semakin menekan fiskal.
“Pajak ini hanya menggalikan lubang untuk menambah jurang. Jika pemerintah ingin benar-benar meraih manfaat, seharusnya yang diterapkan adalah pajak harta, bukan PPN,” ujar Suroto.
Menurut Suroto, pajak harta atau pajak kekayaan bersih lebih adil karena dikenakan atas kepemilikan aset pribadi seperti uang tunai, properti, saham, dan lainnya.
“Pajak kekayaan ini adalah pajak atas komponen harta pribadi dikurangi dengan utang. Ini bisa disebut pajak harta atau kekayaan bersih,” jelasnya.
Dia menambahkan bahwa subjek pajak kekayaan di Indonesia sangat terbatas, hanya sekitar 2 persen dari total penduduk, yaitu mereka yang memiliki kekayaan bersih di atas Rp1,4 miliar.
Pajak harta, lanjutnya, tidak hanya menjadi sumber pendapatan baru, tetapi juga untuk mencegah monopoli oleh orang kaya yang bisa mempengaruhi dunia bisnis dan politik.
“Dari golongan inilah sistem oligarki yang merusak demokrasi kita lahir. Pertanyaannya, apakah Menteri Keuangan Sri Mulyani berani mengimplementasikan ini?” tandas Suroto. (*)