Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Kesepakatan Maritim Prabowo-Xi Jinping Bahayakan Posisi Natuna

 

Kesepakatan Bilateral Prabowo-Xi Jinping Dinilai Membahayakan Posisi Pulau Natuna

Butir ke-9 dalam kesepakatan pertemuan bilateral antara Presiden Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto dan Presiden Tiongkok Xi Jinping, yang ditandatangani pada Minggu, 9 November 2024, menuai kritik dan dinilai dapat membahayakan posisi Pulau Natuna. Kesepakatan tersebut tercantum dalam "Joint Statement Between the People's Republic of China and the Republic of Indonesia on Advancing the Comprehensive Strategic Partnership and the China-Indonesia Community with a Shared Future."

Dalam kesepakatan itu, kedua negara sepakat untuk bekerja sama dalam merespons "overlapping claims" atau wilayah yang disengketakan di Laut China Selatan. Di dalamnya disebutkan pembentukan Komite Pengarah Bersama Antar-Pemerintah untuk mengeksplorasi dan memajukan kerja sama terkait wilayah tumpang tindih tersebut.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro, Eddy Pratomo, menilai bahwa kesepakatan tersebut mengubah sikap Indonesia yang selama ini tegas menolak klaim Tiongkok atas "Nine dashed-lines" atau sembilan garis putus-putus yang tidak diakui dalam hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982 dan hukum kebiasaan internasional. "Dengan adanya Joint Statement RI-Tiongkok ini, sikap Indonesia mulai saat ini sudah mengakui adanya wilayah tumpang tindih yang secara juridis dapat dianggap sebagai pengakuan diam-diam terhadap klaim Tiongkok atas Laut China Selatan, khususnya Laut Natuna Utara," ujarnya.

Eddy juga menjelaskan bahwa kesepakatan tersebut bertentangan dengan keputusan dari Permanent Court of Arbitration (PCA) tentang Laut China Selatan 2016, serta berbagai dokumen yang dikeluarkan oleh ASEAN dan pernyataan-pernyataan Indonesia yang selama ini menegaskan komitmennya terhadap UNCLOS 1982. Meskipun hanya dalam bentuk joint statement atau MoU, posisi Indonesia yang baru ini memiliki implikasi yang bersifat mengikat, baik bagi Indonesia maupun Tiongkok.

Menurut Eddy, konsekuensi dari pengakuan hak maritim Tiongkok di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara adalah ratifikasi Perjanjian RI-Vietnam tentang ZEE yang tidak dapat dilakukan tanpa melibatkan Beijing. "Dokumen Joint Statement ini dapat digunakan oleh Tiongkok untuk melarang Indonesia meratifikasi perjanjian ini karena hak maritimnya telah diabaikan," jelasnya.

Selain itu, Eddy menyatakan bahwa perubahan posisi Indonesia terkait Laut China Selatan berpotensi mengganggu konstelasi geopolitik di kawasan. Kesepakatan ini bisa digunakan oleh Tiongkok untuk mendesak negara-negara lain agar menerima klaim sembilan garis putus-putusnya, yang dapat memperlemah posisi ASEAN yang selama ini menolak klaim tersebut.

"Keberhasilan Tiongkok memperoleh pengakuan dari Indonesia akan dikapitalisasi oleh Tiongkok untuk mendesak negara-negara lainnya agar menerima klaim sembilan garis putus-putus, yang pada akhirnya akan memperlemah posisi ASEAN," pungkas Eddy.(*)

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved