AEPI: Kenaikan PPN 12% Pertanda APBN 'Kere Keriting'
Analis dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, menilai rencana pemerintahan Prabowo-Gibran untuk menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, sebagai indikasi buruknya kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Salamuddin menyebutkan bahwa APBN saat ini dalam kondisi "kere keriting", alias sangat miskin.
"Kenapa bisa kere keriting? Karena lebih besar pasak daripada tiang. Apa yang membuat pasak besar? Utang pemerintah yang sangat besar, yang menyebabkan beban bunga dan cicilan pokok membengkak," kata Salamuddin.
Selain itu, menurut Salamuddin, pemerintah masa lalu juga dinilai gagal mendistribusikan subsidi dengan tepat sasaran. Ia menyoroti subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi LPG 3 kg, dan over supply listrik, yang menyebabkan pembayaran subsidi dan kompensasi listrik semakin membengkak.
"Ini bukan masalah uang semata, tapi kesalahan sistem," tegasnya.
Penyebab paling fundamental kondisi APBN yang 'kere keriting', lanjut Salamuddin, adalah sistem pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang tidak tepat. Negara tidak memperoleh bagi hasil yang adil dari eksploitasi SDA oleh investor.
"Negara hanya memungut pajak yang nilainya sangat kecil atas kegiatan eksploitasi SDA. Seharusnya, negara mendapatkan bagi hasil yang adil, bukan hanya pajak yang ala kadarnya," jelas Salamuddin.
Ia mengungkapkan bahwa keuntungan dari eksploitasi SDA justru dinikmati oleh investor asing dan kroninya. Sementara itu, negara mendapatkan sedikit sekali dari sektor ini.
Salamuddin juga menyoroti sistem ekonomi Indonesia yang menurutnya menganut model lintah darat, di mana rakyat terus disedot dan dibebani berbagai pajak. Ia menyebutkan, pajak atas kegiatan sehari-hari seperti makan, belanja, dan usaha kecil, yang semakin menyedot uang masyarakat.
"Uang yang beredar di masyarakat sangat kecil dan disedot bak 'vacuum cleaner'. Semua amblas tak tersisa," ungkapnya.
Salamuddin juga menjelaskan bahwa model ekonomi lintah darat ini terlihat pada sistem bunga bank yang tinggi. Bunga bank yang mencekik, menurutnya, mengikuti tingginya bunga surat utang negara (SUN), yang ujung-ujungnya membuat uang rakyat mengalir ke bank dan dialirkan lagi untuk memborong SUN.
"Akibatnya, masyarakat tidak memiliki sisa uang di rekening mereka, saldo nol, dan mereka terpaksa berutang, bahkan kepada pinjaman online, untuk bertahan hidup," pungkasnya. (*)