Jakarta, 8 November 2024 – Pepatah “air beriak tanda tak dalam” mengingatkan kita bahwa masalah yang tampak di permukaan sering kali mencerminkan permasalahan yang lebih besar. Dalam konteks dunia yang semakin terhubung, fenomena judi online kini menunjukkan “riak-riak” yang mengkhawatirkan dalam masyarakat.
Menurut data yang dirilis oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), puluhan ribu anggota TNI dan Polri terlibat dalam aktivitas perjudian online. Hal ini mengindikasikan ancaman serius terhadap integritas dan kepercayaan publik, terutama ketika institusi yang seharusnya menjaga keamanan justru terlibat dalam praktik ilegal.
Koordinator Kelompok Humas PPATK, Natsir Kongah, dalam dialog acara Sapa Indonesia Pagi yang ditayangkan Kompas TV pada Kamis (7/11/2024), menyebutkan bahwa sekitar 97.000 anggota TNI dan Polri terlibat dalam judi online. Angka ini menambah kekhawatiran terkait maraknya perjudian online yang menjangkau berbagai kalangan, dari pegawai swasta hingga pejabat negara.
Pasal 27 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua UU ITE secara tegas melarang tindakan perjudian. Setiap orang yang mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat informasi elektronik yang berkaitan dengan perjudian dapat dikenai sanksi hukum. Tindakan “mendistribusikan” mencakup penyebaran informasi kepada publik, sementara “mentransmisikan” merujuk pada pengiriman informasi kepada pihak tertentu. Pasal ini juga melarang tindakan yang memungkinkan publik mengakses informasi perjudian, termasuk penawaran atau kesempatan bermain.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan kompleksitas yang jauh lebih dalam. Keterlibatan anggota TNI-Polri dalam judi online menciptakan ironi besar, karena institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum justru terjerat dalam praktik yang melanggar undang-undang. Hal ini memicu pertanyaan mendasar dari masyarakat: Jika aparat penegak hukum tidak dapat menjaga integritas dan mematuhi hukum, bagaimana masyarakat bisa percaya pada sistem hukum yang seharusnya melindungi mereka?
Risiko bagi mereka yang terlibat dalam judi online sangat besar. Pelanggar Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 dapat diancam pidana penjara hingga 10 tahun atau denda maksimal Rp 10 miliar, sanksi yang seharusnya menjadi peringatan bagi semua, termasuk anggota TNI dan Polri.
Pertanyaan penting yang timbul adalah apakah kita akan membiarkan "riak" kecil ini tumbuh atau mengambil tindakan untuk menggali akar permasalahan. Keterlibatan anggota TNI-Polri dalam perjudian mengindikasikan adanya persoalan mendalam dalam institusi tersebut, mulai dari tekanan finansial hingga lemahnya pengawasan.
Selain itu, fenomena judi online juga meluas hingga melibatkan 1,9 juta pegawai swasta. Hal ini semakin memperkuat indikasi bahwa masalah judi online bukan hanya soal perilaku individu, tetapi merupakan fenomena sosial yang kompleks. Kehadiran 461 pejabat negara dalam aktivitas judi online semakin memperburuk situasi, menciptakan paradoks di mana mereka yang seharusnya menegakkan hukum justru melanggar aturan yang sama.
Ketika individu yang memiliki kekuasaan dan tanggung jawab justru terlibat dalam aktivitas ilegal, kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah pun terancam. Masyarakat mempertanyakan integritas pemimpin dan aparat yang seharusnya melindungi mereka. Ketidakadilan ini menciptakan ketidakpuasan mendalam yang berpotensi memicu protes atau penolakan terhadap kebijakan yang ada.
Ke depan, pemerintah perlu melakukan introspeksi dan reformasi menyeluruh dalam tubuh lembaga terkait. Tanpa perubahan nyata, pemberantasan judi online akan menjadi sia-sia, dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin sulit dipulihkan.
Lebih mencengangkan lagi, ditemukan 1.162 anak di bawah usia 11 tahun yang ikut terlibat dalam perjudian online. Fakta ini menunjukkan bahwa judi online telah menjangkau kalangan yang paling rentan. Alih-alih fokus pada perkembangan positif, anak-anak ini justru terpapar perilaku yang berpotensi merusak.
Kelompok usia dominan pemain judi online antara 20-30 tahun mengindikasikan bahwa generasi muda—yang seharusnya menjadi tulang punggung bangsa—sedang terjebak dalam lingkaran kecanduan. Jika tidak ada langkah pencegahan yang serius, masa depan generasi ini akan terancam.
Kasus yang baru-baru ini melibatkan pegawai Komdigi menjadi contoh bahwa, dalam beberapa kasus, penegakan hukum justru disalahgunakan oleh mereka yang seharusnya memberantas kejahatan. Alih-alih melindungi masyarakat, mereka malah terjerumus dalam aktivitas yang merugikan banyak pihak.
Keterlibatan anggota TNI-Polri dan pejabat negara dalam judi online seharusnya menjadi panggilan introspeksi bagi semua elemen masyarakat. Masalah ini bukan hanya tentang hukum, tetapi juga soal etika, tanggung jawab sosial, dan perlindungan generasi muda.
Jika tindakan tegas dan nyata tidak segera diambil, kita berisiko melihat keruntuhan nilai-nilai yang seharusnya dipegang teguh oleh institusi dan individu dalam masyarakat. Saatnya menanggulangi judi online dengan langkah konkret dan berkelanjutan.
Penangkapan bandar judi online sangat mendesak, karena mereka bukan hanya pelaku utama tetapi sering kali didukung oleh aparat atau pejabat yang seharusnya menegakkan keadilan. Tindakan tegas perlu diambil terhadap bandar judi, serta aparat dan pejabat yang mendukung mereka. Hanya dengan demikian, kita dapat menunjukkan bahwa tidak ada tempat bagi praktik ilegal dalam masyarakat.
Dengan penegakan hukum yang adil, kepercayaan publik dapat dipulihkan dan nilai-nilai moral serta etika tetap terjaga. Mari bersatu dalam perjuangan ini agar generasi mendatang bisa tumbuh di lingkungan yang bebas dari pengaruh negatif perjudian online.(*)