Poin Kesepakatan Prabowo-Xi Jinping Dinilai Berdampak pada Geopolitik Laut China Selatan
Butir kesepakatan ke-9 dalam joint statement yang dihasilkan dalam pertemuan Presiden Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping di Beijing akhir pekan lalu mendapat kritik dari sejumlah pihak. Poin tersebut menyebutkan bahwa kedua negara sepakat untuk menjalin kerja sama di area overlapping claims atau wilayah yang disengketakan.
Dalam kesepakatan tersebut, tercantum kalimat, "The two sides reached an important common understanding on joint development in areas of overlapping claims," yang menegaskan niat kedua negara untuk mengembangkan wilayah yang tumpang tindih klaimnya.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengkritisi dan mempertanyakan apa yang dimaksud dengan overlapping claims dalam deklarasi tersebut. Jika yang dimaksud adalah klaim sembilan garis putus-putus yang diajukan oleh Tiongkok di Laut China Selatan, yang tumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna Utara, maka ini menunjukkan perubahan sikap Indonesia terhadap Laut China Selatan.
Hikmahanto menjelaskan bahwa hingga masa pemerintahan Presiden Joko Widodo berakhir bulan lalu, Indonesia tidak pernah mengakui klaim sepihak Tiongkok atas sembilan garis putus-putus tersebut. Menurutnya, joint development atau pengembangan bersama hanya bisa terjadi jika kedua negara saling mengakui adanya wilayah maritim yang tumpang tindih. Padahal, Indonesia selama ini tidak pernah menyatakan dirinya sebagai bagian dari negara-negara yang mengajukan klaim di kawasan tersebut.
Tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Indonesia, kesepakatan ini juga berpotensi menambah ketegangan dalam geopolitik kawasan. "Ini baru joint statement, tapi implikasinya sudah sangat luar biasa ke negara-negara lain," ujar Hikmahanto dalam wawancara pada Selasa, 12 November 2024.
Ia menambahkan bahwa pengakuan Indonesia terhadap overlapping claims dapat memicu ketegangan dengan negara-negara anggota ASEAN yang memiliki klaim di Laut China Selatan, seperti Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam. Negara-negara tersebut kemungkinan besar akan mempertanyakan posisi Indonesia, yang dapat memicu ketegangan di dalam kawasan ASEAN.
Hikmahanto juga mengingatkan bahwa negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Jepang akan merasa kecewa dengan posisi Indonesia, karena hal ini berpotensi membahayakan kebebasan pelayaran internasional yang selama ini dijaga ketat oleh negara-negara besar tersebut. "Tentu ini akan mengubah peta politik di kawasan," tambahnya.
Meskipun Kementerian Luar Negeri Indonesia telah mengeluarkan klarifikasi pada Senin, 11 November 2024, Hikmahanto menilai bahwa klarifikasi tersebut tidak cukup untuk meredakan keraguan yang berkembang di kalangan masyarakat internasional. "Negara-negara yang selama ini mengapresiasi posisi Indonesia yang tidak mengakui sembilan garis putus-putus, yang diperkuat dengan putusan Permanent Court of Arbitration (PCA) pada tahun 2016, terus mempertanyakan posisi Indonesia," tutupnya.(*)