Kenaikan PPN Menjadi 12 Persen, Pemerintah Hadapi Tantangan Pembiayaan Program MBG
Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Langkah ini diambil sebagai upaya menambal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terbebani oleh program makan bergizi gratis (MBG).
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan, program MBG menghadirkan tantangan besar dalam hal pembiayaan, yang sebagian besar berasal dari pajak dan utang. Bhima menyatakan, jika program ini terus berjalan hingga mencapai target 100 persen pada 2029, defisit APBN diperkirakan akan mencapai 3,34 persen dari PDB pada tahun tersebut.
"Ini melebihi ambang batas aman yang diatur undang-undang dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5 persen. Bahkan jika menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi optimis sebesar 7 persen, defisit anggaran tetap diprediksi melampaui ketentuan konstitusi, yaitu sebesar 3,1 persen," ujar Bhima.
Celios mengusulkan agar pemerintah lebih kreatif dalam mencari pendanaan untuk program MBG. Kenaikan tarif PPN dianggap bukan solusi ideal untuk pendanaan program tersebut. Bhima menyarankan penerapan pajak kekayaan (wealth tax) yang bisa memberikan kontribusi sebesar Rp81,6 triliun dalam sekali penerapan.
Selain itu, Bhima juga menekankan pentingnya mencegah kebocoran pajak, terutama di sektor komoditas ekstraktif, yang selama ini terjadi melalui praktik underinvoicing dan miss-reporting. "Kami berharap pemerintah jangan mengorbankan masyarakat kelas menengah yang sudah terhimpit untuk membiayai MBG," tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengonfirmasi bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada 13 November, Sri Mulyani menegaskan bahwa kenaikan PPN ini sejalan dengan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan akan diterapkan dengan hati-hati untuk menjaga stabilitas ekonomi.(*)