Pengamat politik Eep Saefulloh mengungkapkan pandangannya mengenai Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai representasi dari keburukan dalam praktik demokrasi saat ini.
Menurut Eep Saefulloh, fenomena yang terlihat di panggung politik nasional mencerminkan bagaimana kekuasaan dapat mengubah cara berpolitik di Indonesia.
Eep Saefulloh menyoroti pengangkatan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar pada tahun 2017.
Dia mencatat bahwa Hartanto ditunjuk tanpa adanya kontestasi melalui mekanisme aklamasi yang didorong oleh Jokowi.
Calon lain, Bambang Susatyo, terpaksa mundur dengan cara yang tidak transparan.
Eep Saefulloh menilai tindakan ini sebagai contoh dari "keadilan politik" yang dilakukan Jokowi, yang menunjukkan adanya pengaruh besar presiden dalam menentukan arah partai politik.
Perubahan signifikan terjadi dalam kepemimpinan Jokowi antara termin pertama dan kedua.
Dikutip dari YouTube Spasi, Eep Saefulloh menjelaskan bahwa di awal pemerintahannya, Jokowi dikenal dengan pendekatan etis, termasuk larangan rangkap jabatan bagi menteri.
Namun, seiring berjalannya waktu, terutama pada periode kedua, Jokowi mulai mengumpulkan pemimpin partai dalam kabinetnya.
Eep Saefulloh menyebut ini sebagai pergeseran dari "Joko" yang idealis ke "Widodo" yang lebih pragmatis, menggambarkan pertempuran antara citra politik dan realitas yang ada.
Dalam analisisnya, Eep Saefulloh menjelaskan dua model kekuasaan yang dikembangkan Jokowi: loyalitas berbasis insentif dan penyanderaan.
Menurutnya, Jokowi berhasil membangun loyalitas dengan memberikan insentif kekuasaan kepada para pendukungnya sekaligus menggunakan ancaman pemenjaraan untuk memastikan loyalitas tersebut.
Situasi ini menciptakan kondisi di mana anggota partai lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada kepentingan publik.
Lebih lanjut, Eep Saefulloh menegaskan bahwa praktik-praktik semacam ini berakibat fatal bagi demokrasi di Indonesia.
Ia berargumen bahwa kebebasan, partisipasi, dan kompetisi dalam sistem politik semakin dibatasi.
Contoh yang jelas terlihat dalam Partai Golkar yang hanya memiliki satu calon untuk posisi ketua, mencerminkan kemunduran demokrasi internal.
Sebagai solusi, Eep Saefulloh mengajak masyarakat untuk memperkuat demokrasi dengan meningkatkan kualitas warga negara.
Menurutnya, warga negara yang baik adalah mereka yang sadar akan hak dan kewajiban, serta tidak bergantung pada pemimpin politik.
"Kita harus melawan praktik pembunuhan demokrasi ini dengan cara yang beradab," tutupnya.(*)