Wakil Presiden Filipina, Sara Duterte, membuat pernyataan mengejutkan yang memicu keprihatinan publik. Dalam konferensi pers pada Sabtu, 23 November 2024, Duterte mengungkapkan bahwa jika dirinya terbunuh, dia telah menginstruksikan seseorang untuk membunuh Presiden Ferdinand Marcos Jr., istrinya, Liza Araneta, dan Ketua DPR Filipina, Martin Romualdez.
Pernyataan itu diucapkannya dengan nada serius dan penuh emosi, yang disertai dengan kata-kata kasar. “Saya bilang, jika saya mati, bunuh BBM (Marcos), (ibu negara) Liza Araneta, dan Martin Romualdez. Tidak bercanda, tidak bercanda,” tegas Duterte dalam konferensi pers tersebut.
Duterte mengklaim telah berbicara dengan seseorang yang dia sewa untuk menjalankan rencananya. “Saya sudah bilang, jangan berhenti sampai mereka mati, dan dia bilang ya,” ujarnya menambahkan.
Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap komentar daring yang memintanya untuk tetap waspada. Menanggapi hal ini, Kantor Komunikasi Kepresidenan Filipina mengeluarkan pernyataan resmi. Mereka menyebut bahwa ancaman terhadap Presiden harus ditanggapi dengan serius dan telah merujuknya ke Komando Keamanan Presiden untuk tindakan lebih lanjut.
Hingga saat ini, pihak kantor Duterte belum memberikan tanggapan terkait langkah yang diambil oleh pemerintah atas pernyataan tersebut.
Sara Duterte, yang juga putri dari mantan Presiden Rodrigo Duterte, diketahui telah menarik diri dari kabinet Presiden Marcos pada Juni lalu. Keputusan ini menandai keretakan hubungan politik yang pernah terjalin erat antara keduanya.
Hubungan keduanya semakin memanas setelah anggaran untuk kantor wakil presiden dipangkas hampir dua pertiga oleh Ketua DPR, Martin Romualdez, yang juga sepupu dari Marcos. Duterte sendiri beberapa kali mengkritik Marcos, menyebutnya sebagai pemimpin yang “tidak kompeten” dan “pembohong.”
Konflik antara kedua keluarga politik ini menjadi sorotan publik, terutama menjelang pemilu paruh waktu yang akan berlangsung pada Mei 2025. Pemilu tersebut dipandang sebagai ujian popularitas bagi Marcos dan kesempatan untuk mengonsolidasikan kekuasaannya menjelang akhir masa jabatannya pada 2028.
Perseteruan ini juga mencerminkan perbedaan pandangan antara Duterte dan Marcos, yang mencakup kebijakan luar negeri dan warisan perang narkoba yang kontroversial dari pemerintahan Rodrigo Duterte. Kekerasan politik, yang telah menjadi bagian dari sejarah Filipina, kerap menjadi peristiwa tragis, seperti pembunuhan Benigno Aquino pada 1983, yang merupakan senator yang menentang keras rezim Ferdinand Marcos Sr., ayah dari Presiden Marcos saat ini.(*)