JAKARTA — Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia untuk tahun 2025 menghadapi tantangan serius dengan defisit yang signifikan. Pemerintah memperkirakan total belanja mencapai Rp2.701,4 triliun, sementara pendapatan negara direncanakan sebesar Rp3.005,1 triliun.
Ekonom Salamudin Daeng menyoroti kondisi ini sebagai "kere keriting," menggambarkan situasi di mana negara menghadapi kesulitan besar dalam mengelola anggaran. Menurutnya, meski ada kelebihan pendapatan dibandingkan belanja, APBN terbebani oleh kewajiban pembayaran bunga dan pokok utang yang terus meningkat.
Dalam RAPBN 2025, pemerintah mengalokasikan pembayaran bunga utang sebesar Rp552,9 triliun, naik 10,8 persen dari tahun sebelumnya. Rinciannya, pembayaran bunga utang dalam negeri mencapai Rp497,6 triliun, sedangkan bunga utang luar negeri Rp55,2 triliun. Salamudin mencatat bahwa kenaikan pembayaran bunga utang dalam lima tahun terakhir mencapai 75,8 persen, jauh melampaui pertumbuhan pendapatan negara.
Selain itu, anggaran subsidi energi juga menjadi beban berat. Pemerintah harus menyediakan dana besar untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM), elpiji 3 kg, dan listrik bagi masyarakat miskin. Salamudin menilai pengelolaan subsidi ini masih bermasalah, dengan kebocoran dan kurangnya transparansi menjadi isu utama.
Defisit anggaran 2025 diperkirakan mencapai 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), atau sekitar Rp616,2 triliun. Untuk menutup defisit ini, pemerintah bersama DPR menyepakati pembiayaan utang sebesar Rp775,9 triliun. Namun, Salamudin mempertanyakan apakah pasar masih mampu menyerap utang baru ini, mengingat tingginya utang pemerintah selama pandemi COVID-19 yang mencapai Rp1.600 triliun.
Ia juga menyoroti potensi risiko ke depan, termasuk jatuh tempo utang yang besar, perubahan iklim, krisis rantai pasok, dan kondisi likuiditas global yang semakin ketat. "Dengan anggaran yang tersandera oleh utang dan subsidi, APBN 2025 kehilangan fleksibilitas untuk menghadapi krisis besar yang mungkin terjadi dalam beberapa tahun mendatang," ujar Salamudin.
Dalam situasi ini, Salamudin mendesak pemerintah untuk mengambil langkah strategis dalam pengelolaan anggaran, termasuk peninjauan ulang kebijakan subsidi dan pembiayaan utang, guna memastikan keberlanjutan keuangan negara di tengah tantangan global.(*)