Mataram - Industri hotel dan restoran di kawasan tiga gili, yakni Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air, di Lombok Utara, NTB, terus merugi karena krisis air. Mereka bahkan rugi puluhan juta rupiah setiap hari.
Krisis air bersih di sana terjadi setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencabut izin aktivitas pengeboran untuk pemasangan pipa PT Tiara Cipta Nirwana (TCN). Perusahaan itu yang selama ini memasok air bersih hasil sulingan air laut.
"Jika situasi ini terus terjadi (krisis air) beberapa pengusaha ini akan menutup properti di sana, karena semua pengusaha merugi," kata Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Lombok Utara Vicky Hanoi di Mataram, Sabtu (12/10/2024).
Kondisi ini juga mengancam kelangsungan usaha di sana. Jika benar-benar tutup, maka akan ada 4.000 tenaga kerja yang terancam PHK.
"Ada 4.000 karyawan bisa hilang pekerjaan bisa dirumahkan. Jadi jumlah 4.000 termasuk di Gili Trawangan, Meno, dan Air. Tentu dampak ini yang tidak kami inginkan," terang Vicky.
Selain akan berdampak kepada PHK ribuan karyawan, Vicky menyebutkan, krisis air juga akan berdampak kepada citra pariwisata di tiga gili tentu akan mencoreng nama baik pariwisata NTB.
"Jadi, bukan masalah air saja yang terganggu, sumber pendapatan kita menurun. Jadi hampir 60 persen penduduk Lombok Utara kerja di tiga Gili," ujarnya.
Rugi Puluhan Juta
Sejak penutupan itu pada 27 September lalu, para pengusaha di tiga gili terpaksa membeli air dari pihak ketiga. Harganya mencapai Rp 4,5 juta setiap tangki 5.000 liter.
"Kami harus beli air sehari ya, ini sehari sampai Rp 10 juta hingga Rp 15 juta. Hitung saja berapa kerugian kami jika ini berlangsung sampai sebulan," kata Vicky.
Air bersih tersebut dibeli dari Pelabuhan Bangsal. Harganya sekitar Rp 500-700 ribu per tangki, namun harga membengkak karena diangkut menggunakan kapal ke gili.
"Belum ongkos perahu, ongkos buruh. Itu harus diangkut tiga kali baru bisa sampai ke penampungan hotel dan resto di Gili," tutur Vicky.
Setali tiga uang dengan Lili Mike, salah satu manager hotel di Gili Air. Dia mengungkapkan krisis air juga dialami oleh para pengusaha di Gili Air.
"Walaupun air lewat bawah laut, tapi sekarang airnya belum maksimal. Air sangat sedikit jadi terpaksa kami juga harus membeli menggunakan tandon," kata Lili.
Kerugian lain akibat krisis air tersebut juga membuat para wisatawan menjadi ogah liburan ke tiga gili. Bahkan isu yang tersebar di kalangan wisatawan mancanegara tiga Gili di Lombok Utara sudah mati.
"Bahkan itu itu dianggap seluruh Lombok NTB dianggap tidak punya air. Turis anggap bukan cuma gili tidak ada air tapi Lombok dianggap tidak ada air," katanya.
Ketua Gili Hotel Association (GHA) Lalu Kusnawan menegaskan krisis air yang dialami oleh warga dan para pengusaha di tiga Gili Lombok Utara menjadi tanggung jawab PDAM Amerta Dayan Gunung milik Pemkab Lombok Utara.
"Kami tidak mau tahu intinya pemerintah harus bertanggung jawab. Pemerintah serius tidak mengelola ini. Kami tidak berbicara itu air dari mana yang penting tiga gili harus ada air," keluhnya.
"Kami juga minta dari kementerian, instansi tolong masalah ini diperhatikan. Bahwa kami sudah menekan MoU dengan PDAM perusahaan daerah tapi situasi ini belum juga membuahkan hasil," tandasnya.