Manajer Kampanye Pesisir Laut dan Pulau Kecil dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Parid Ridwanuddin merasa heran dengan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang membedakan sedimen pasir dengan pasir laut. Pernyataan tersebut membuat Jokowi terlihat tidak paham dengan hal tersebut.
Walhasil, saat ditanya tentang izin ekspor pasir laut kembali dibuka, Jokowi melontarkan pembelaan kalau yang akan dikirim ke luar negeri berupa sedimen pasir yang berada di jalur laut untuk kapal-kapal. Namun, Parid menilai pemahaman Jokowi keliru.
Dia menjelaskan bahwa sedimen yang ada di perairan Indonesia itu terbentuk secara alami juga buatan. Hal tersebut telah diakui oleh para ahli geologi.
"Sedimentasi yang ada di perairan Indonesia itu sebetulnya bukan sedimentasi yang baru dari sungai-sungai gitu ya, tapi itu sedimentasi purba yang dulu berasal dari di Paparan Sunda atau disebut Sunda land," jelasnya dikutip dari tayangan video kanal YouTube Bambang Widjojanto, Selasa (1/10/2024).
Pada masa purba, Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Jawa masih menyatu. Namun, akibat perubahan geologis, paparan sunda tenggelam kemudian berubah menjadi sedimen.
Teori kedua, sedimen alami akibat dampak dari gunung meletus yang materialnya masuk ke dalam laut.
Kemudian membentuk jadi suatu pulau kecil sebagai hasil dari proses oseanografi panjang.
"Pulau kecil ini dia punya fungsi menahan gelombang tinggi. Artinya kalau ini dikeruk, ditambang, ada perubahan arus, perubahan arus besar. Sehingga kemudian wilayah tangkap nelayan tidak aman. Pulaunya akan mengalami abrasi, pengikisan," jelas Parid.
Sementara itu, sedimen tidak alami dihasilkan dari proses kerusakan di darat. Salah satunya bisa terjadi akubat proses pertambangan yang dilakukan terus menerus.
Parid mengungkapkan salah satu contoh pembentukan sedimen tidak alami sudah terjadi di lokasi pertambangan emas di Papua yang dilakukan oleh PT Freeport.
"Itu dibuang dilimbahnya ke sungai dan berakhir di laut-laut. Pertanyaannya begini, kalau pemerintah mau mengeruk sedimentasi yang ada di laut itu apakah akan menjawab persoalan? Enggak, karena akarnya ada di darat," tegasnya.
Menurutnya, apabila ingin menyelesaikan sedimentasi di laut, maka perlu selesaikan kerusakan lingkungan di darat.
"Setop pertambangan, udah selesai. Tapi kalau dikeruk di lautnya, daratnya enggak diselesaikan, tambangnya tetap dibuka, dikasih lagi IUP, laut kita akan menderita. Jadi apa yang terjadi di darat itu pasti berdampak ke laut," paparnya.
Parid menyampaikan, penjelasan seperti itu yang seharusnya disampaikan oleh Jokowi maupun Menteri Kelautan dan Perikanan seperti dikutip dari suara
Anthony Budiawan : 20 Tahun Dilarang, Jokowi Kembali Ekspor Pasir Laut, Dapat Dipidana Pasal 3 UU No 31/1999
Setelah 20 tahun lebih, keran ekspor pasir laut akhirnya dibuka kembali oleh Jokowi. Publik patut mencurigai, kebijakan buka keran ekspor pasir laut ini berlatar belakang rente ekonomi, yang menguntungkan segelintir oligarki dengan merusak ekosistem laut.
Pengerukan pasir laut untuk ekspor dengan alasan mengendalikan dan membersihkan
sedimentasi di laut tidak dapat diterima sama sekali.
Alasan ini jelas hanya akal-akalan Jokowi dan para antek oligarkinya, demi meraup untung miliaran dolar, tanpa peduli kerusakan ekosistem dan lingkungan hidup laut.
Alasannya, pertama, di penghujung pemerintahannya, Jokowi seharusnya tidak boleh mengambil kebijakan strategis dan kontroversial seperti ekspor pasir laut yang menguntungkan pihak lain atau korporasi, dan secara nyata merusak lingkungan hidup.
Dalam hal ini, Jokowi diduga secara terang-terangan telah menyalahgunakan kewenangannya dengan tujuan menguntungkan pihak lain atau korporasi.
Untuk itu, (kalau terbukti) Jokowi dapat dipidana, seperti bunyi Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Kenapa Jokowi nekat menjadi beking para oligarki di penghujung kekuasaannya, yang seharusnya sudah masuk tahap demisioner karena sudah ada presiden terpilih yang akan dilantik pada 20 Oktober yang akan datang?
Kenekatan Jokowi menjelang lengser, patut diduga, Jokowi juga menerima manfaat ekonomi dari kebijakannya yang sangat kontroversial tersebut, yang merusak ekosistem laut dan menguntungkan para oligarki.
Selain kebijakan ekspor pasir laut, Jokowi sebelumnya juga memberi status PSN (Proyek Strategis Nasional) untuk PIK-2 dan BSD, yang membuat penduduk setempat dapat diusir secara paksa. Secara komersial, proyek PSN PIK-2 dan BSD akan memberi keuntungan ratusan triliun rupiah kepada oligarki pengembang kedua kawasan PSN tersebut.qw
Kedua, kalau alasannya adalah untuk pembersihan sedimentasi laut, maka Jokowi seharusnya menugaskan BUMN atau pemerintah daerah yang berwenang di sepanjang jalur pembersihan sedimentasi laut tersebut untuk melakukan pembersihan sedimentasi di maksud.
Bukan sebaliknya, Jokowi malah memberi payung hukum pengelolaan sedimentasi laut dan izin ekspor pasir laut kepada swasta, dengan keuntungan jutaan sampai milaran dolar.
Oleh karena itu, alasan pembersihan sedimentasi laut yang diserahkan kepada swasta ini secara telanjang mata merupakan alasan mengada-ada, dan merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan pihak lain, dan merugikan keuangan negara.
Kebijakan ini seyogyanya mendapat perlawanan keras dari masyarakat, dengan melaporkan Jokowi kepada KPK atas dugaan telah melakukan pelanggaran Pasal 3 UU Tipikor di maksud di atas.***