Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Membongkar Kedustaan Negara Bangsa (Nation State) Yahudi Israel

Bangsa Yahudi Anggap Palestina Sebagai Musuh Kuno


Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.

(Pakar Hukum & Pemerhati Zionisme)

Berdirinya Negara Israel diprakarasi oleh Zionis Internasional melalui imigrasi Yahudi - yang diaspora - ke tanah Palestina. Sejak Zionis Internasional resmi berdiri pada tahun 1897, imigrasi ke Palestina menjadi salah satu program utama yang dilakukan secara terorganisir. Setidaknya ada dua doktrin primer yang dikembangkan dalam upaya kolonialisasi di Palestina yaitu, “Israel sebagai bangsa pilihan Tuhan” dan “Tanah yang dijanjikan Tuhan”. Dua doktrin inilah yang dijadikan ideologi Zionisme baik secara teologis, historis, politis maupun secara ekonomi.

Terdapat dua peristiwa sejarah penting yang menjadi fondasi berdirinya Negara Yahudi di tanah Palestina. Pertama, perjanjian Sykes-Picot tahun 1916 antara Inggris dan Perancis. Dimana perjanjian tersebut membagi peninggalan Ottoman (Turki Utsmani) di wilayah Arab. Ditegaskan pula, Perancis mendapat wilayah jajahan Suriah dan Libanon. Adapun Inggris memperoleh wilayah jajahan Irak dan Jordania. Sementara Palestina dijadikan status wilayah Internasional. Kedua, Inggris memberi mandat kepada Yahudi untuk mendirikan negara berdasarkan Deklarasi Balfour, pada tanggal 2 November 1917.

Cita-cita Zionis Internasional untuk mendirikan Negara Yahudi dikemukakan Theodore Herzl dalam tulisannya pada tahun 1896, “Der Judenstaat: Versuch Einer Modernen Losung Der Judenfrage” atau “Proposal Untuk Solusi Modern Bagi Masalah Yahudi”. Dalam buku tersebut, dia menyatakan bahwa bangsa Yahudi memiliki “identitas nasional” yang perlu diakui. Bangsa Yahudi tidak bisa lepas dari ancaman anti-Semitisme, kecuali jika mereka hidup di komunitas sebagai mayoritas.

Herzl juga mendefiniskan Jews (orang-orang Yahudi) sebagai sebuah entitas politik dengan tujuan untuk mendirikan sebuah Jewish State (Negara Yahudi) di daerah Palestina. Pendapat Herzl tersebut merupakan kelanjutan ide Moses Hess, seorang tokoh Yahudi yang membentuk pemikiran Karl Marx. Tokoh Yahudi ini adalah juga seorang filsuf dengan pola pikir Hegel. Hess dalam bukunya, “Rom und Jerussalem” (1862), mengatakan bahwa paham “Nasionalisme Yahudi” harus dibangun sebagai upaya eksistensi kaum Yahudi. Dia kemudian mempropagandakan idenya tentang kebangkitan “Tanah Air Yahudi” di Palestina. Gagasan nasionalisme Yahudi inilah yang kemudian membentuk ideologi Zionis Internasional. Zionisme juga memunculkan istilah “The Promised Land” yang menunjuk tanah Palestina sebagaimana klaim mereka, “Tanah yang dijanjikan Tuhan”.  Hal ini menjadi salah satu alat propaganda gelombang imigrasi ke Palestina.

Dengan semakin bergejolaknya sikap dan perilaku anti-Semitisme di Eropa, lambat laun gagasan Herzl semakin dikenal. Pada akhirnya, gagasan Herzl itu diikuti oleh sebagian tokoh dan pimpinan Yahudi lainnya. Salah satu gagasan konkritnya adalah dengan melakukan lobi pada berbagai kelompok penting di Eropa, termasuk pimpinan-pimpinan politik tertinggi di Inggris dan negara lain. Dimaksudkan agar memberikan persetujuan politik untuk pendirian sebuah negara yang dikhususkan untuk bangsa Yahudi. Pilihan mereka jatuh pada Palestina. Sebuah wilayah pemukiman bangsa Arab di Timur Tengah yang pada saat itu berada di bawah otoritas Kekhalifahan Utsmaniyah Turki. Disadari bahwa hal itu sungguh tidak mudah, dikarenakan Palestina sendiri sudah lama dihuni oleh orang-orang Arab yang mayoritas beragama Islam.

Selanutnya, muncul tawaran dari pihak Inggris yang memberikan wilayah negara bagi mereka, yakni Uganda dan Argentina. Namun, Herzl dan kawan-kawannya menolaknya. Mereka bersikukuh bahwa tanah yang dijanjikan itu berada di kawasan Palestina. Wacana ini terus dikembangkan, dan pada akhirnya mendapatkan dukungan dari berbagai kelompok Zionisme di berbagai negara.

Hampir limapuluh tahun wacana pendirian Negara Israel dan gerakan Zionisme terus bergulir. Puncaknya, pada tahun 1948, Inggris beserta kekuatan Eropa lainnya bersepakat untuk memberikan sebuah wilayah di Palestina untuk dijadikan Negara Israel yang dicita-citakan itu. Sejak saat itulah, ribuan orang-orang Yahudi dari berbagai negara di dunia berdatangan ke Palestina. Mereka datang dengan kendaraan darat dan laut, yang menjadikan wilayah Timur Tengah ini semakin ramai.

Dalam waktu yang tidak begitu lama, pemukiman Yahudi di Palestina semakin membesar. Jumlah orang Yahudi lambat-laun mampu melebihi jumlah orang-orang Arab di Palestina. Tidak jarang, penduduk Arab yang asli Palestina harus pindah dan menyingkir ke wilayah pinggiran Palestina. Bangsa-bangsa Arab menganggap kehadiran orang-orang Yahudi itu telah mengusik kehidupan mereka. Apalagi, kehadiran secara tiba-tiba dan massal tersebut merupakan ancaman yang serius bagi keberlangsungan hidup mereka sebagai bangsa Arab di Palestina.

Kemudian, ketika “paham nasionalisme” dan ide “negara bangsa” (nation state) di Eropa mulai dicetuskan orang-orang Yahudi Eropa, maka seiring dengan itu gerakan Zionis Internasional semakin menggeliat. Adapun ide mengenai “tanah air” bagi kaum Yahudi disampaikan oleh Leon Pinsker pada tahun 1882 lewat buku, “Auto-Emancipation”.  Pemikiran tersebut telah memengaruhi pemikiran Herzl. Dalam bukunya, “Der Judenstaat”, dia menjelaskan tentang bagaimana membentuk, mendirikan, dan idealnya dari suatu Negara Yahudi.  Buku tersebut dipandang sebagai salah satu dari tulisan-tulisan penting bagi Zionisme dan identitas ke-Yahudian.

Pada konsep awal tahun 1903, pendirian Negara Yahudi ditetapkan Argentina atas anjuran Baron Hirch, Uganda (Afrika Timur) atas saran Inggris, Cecil Rhodes mengusulkan Afrika Selatan. Namun Herzl memilih Palestina. Gagasan Herzl didukung oleh 295 suara melawan 177 suara yang menentang, sementara 100 suara abstain. Pada tahun 1904, Herzl meninggal dunia, ketika usianya 44 tahun. Setelah dia meninggal, kongres Yahudi ketujuh menolak Uganda dan menetapkan Palestina sebagai tanah air Israel.

Pilihan Palestina sebagai negara Israel merupakan bentuk persekongkolan international guna mewujudkan impian bangsa pilihan Tuhan. Hal di ungkapkan Nahem Golmen, bangsa Yahudi telah memilih Palestina bukan karena tambang yang dihasilkan dari laut mati bernilai 3 milyar dolar, bukan pula karena cadangan minyak yang ada di Amerika Utara dan selatan, tetapi pertama karena mereka berpegang pada ajaran Taurat, dan kedua oleh karena Palestina adalah titik pusat yang paling vital bagi kekuatan dunia, dan merupakan pusat strategis kemiliteran yang bisa dijadikan tonggak untuk menguasai dunia.

Patut dicatat, bahwa pendirian Israel di tanah Palestina tidak melalui suatu perjuangan antikolonial oleh rakyat untuk membela tanah airnya dan berperang melawan penjajah asing. Sebaliknya, kemerdekaan Israel diperoleh dan diproklamasikan oleh komunitas pendatang. Usaha itu diawali dengan pengusiran etnis yang telah menempati Palestina. Sensus di Inggris mencatat pada tahun 1922 terdapat 660.651 orang Arab Palestina dan 83.790 orang Yahudi di Palestina. Untuk membaliknya, dilancarkan Yahudisasi Palestina dan imigrasi besar-basaran oleh kaum Zionis.

Pendirian sebuah “rumah nasional” bagi kaum Yahudi sangat terkait dengan gerakan Zionisme sebagaimana dimaksudkan oleh Hess tentang nasionalisme Yahudi sebagai basis ideologi politik Zionisme. Kesemuanya itu juga tidak dapat dipisahkan dengan gerakan Zionis Internsional yang digagas oleh Herzl. Sebagaimana dirumuskan dalam konferensi Zionisme Internasional pertama di Bazel Swiss pada tahun 1897. Perihal rumah nasional itu, kemudian diakomodasi dalam Deklarasi Balfour pada tahun 1917. Pernyataan publik Pemerintah Inggris tersebut menyebutkan, “Pemerintah Yang Mulia memandang baik pendirian sebuah ‘rumah nasional’ bagi bangsa Yahudi di Palestina.”

Substansi deklarasi tersebut sungguh aneh dan membingungkan para sejarawan.  Cendekiawan Yahudi terkemuka, Arthur Koestler menyebutnya sebagai salah satu dokumen politik yang paling tidak mungkin sepanjang masa. Terlebih lagi istilah rumah nasional, tidak dikenal dan tidak memiliki preseden dalam Hukum Internasional. Begitu pun menyangkut batas-batasnya tidak dijelaskan. Frasa “di Palestina” mengandung makna yang bias, bahwa rumah nasional Yahudi itu dapat ditafsirkan mencakup seluruh wilayah Palestina seluruhnya.

Konspirasi Zionisme telah berhasil menguasai pemerintahan kerajaan Inggris dengan menempatkan tiga orang agennya, yaitu; David Lloyd George, Arthur Balfaour, dan Wiston Churcill. Mereka memberikan mandat kepada Liga Bangsa-Bangsa, dimana Al-Quds menjadi Ibu Kota Palestina di bawah mandat Inggris (1920-1948). Kemudian diserahkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setelah Perang Dunia II.

Deklarasi Balfour tidak dapat dilepaskan dengan peran Chaim Azriel Weizmaan, tokoh utama Zionis Internasional. Dia telah memberikan bantuan yang sangat berharga bagi kemajuan industri amunisi Inggris. Melalui dirinya, metode produksi aseton - sebagai pembuatan propelan peledak kordit - digunakan selama Perang Dunia. Pencapaian Weizmann yang signifikan tersebut, pada akhinya sangat membantu negosiasi politik Zionis Internasional guna pemberian tanah Palestina.

Dalam kaitannya dengan “nation state” yang didalilkan oleh Zionis Internasional, maka demikian itu adalah ahistoris. William G. Carr mengatakan, kaum Yahudi Eropa yang kini berkuasa di Negara Israel adalah kelompok Yahudi Ashkenazi, yang jumlahnya 82% dari seluruh orang Yahudi non-Semitik. Sejalan dengan Carr, Letnan Jenderal (Purn) Z.A. Maulani, dalam bukunya yang berjudul, “Zionisme Gerakan Menaklukkan Dunia” mengatakan kaum Yahudi Eropa yang kini berkuasa di Negara Israel adalah kelompok Yahudi Ashkenazi. Tokoh militer Indonesia dan mantan Kepala BIN itu juga mengatakan, mereka keturunan bangsa pagan Cathar, yang menghuni dataran tinggi Georgia di Rusia Selatan. Yahudi Ashkenazi yang berdiam di Rusia Selatan kemudian menyebar ke seluruh Eropa, Amerika, dan Australia. Mereka kemudian berkembang menjadi kelompok yang lebih dominan baik dalam jumlah maupun perannya di dunia. Kaum Ashkenazi memiliki ritual ibadah dan logat Ibrani tersendiri, yang membedakan mereka dengan Yahudi Sephardi, kaum Yahudi dari negeri Judah, yang berpegang pada Taurat Musa. Kaum Yahudi Ashkenazi menjadi pemrakarsa gerakan Zionisme internasional dan di kemudian hari memegang kekuasaan politik Negara Israel dibandingkan dengan kelompok Yahudi Sephardi.

Yahudi Ashkenazi lebih mengutamakan Talmud ketimbang Taurat. Selain itu, mereka juga berpedoman pada Protokol Para Tua-Tua Sion (The Protocols of the Elders of Zion). Dalam Talmud disebutkan bahwa tuhan itu bernama Jehovah dan tuhan seperti manusia. Jehovah digambarkan sesuai dengan keinginan cita-cita dan kepentingan bangsanya. Dikatakan juga, Jehovah berperangai lebih rendah dari manusia. Kitab Talmud dan Protokol Zionis menjadi ideologi guna pengembangan Zionisme International, yang mengklaim bahwa “Yahudi adalah bangsa pilihan” dan “Jerusalem adalah tanah yang dijanjikan”. Padahal tidak pernah ada disebutkan dalam Taurat, Zabur, injil dan al-Qur’an.

Gugatan telak tentang identitas orang-orang Yahudi datang dari Ernest Renan pencetus konsep “negara bangsa” (nation state). Renan seorang filsuf dan sejarawan Perancis, yang juga pakar peradaban dan bahasa Semitik. Dia adalah orang yang pertama mengemukakan “Teori Khazaria”, antara lain dalam tulisannya, “Judaism as a Race and as Religion”. Teori Khazaria pada intinya menyatakan, orang-orang Yahudi Ashkenazi adalah keturunan bangsa Khazar yang pernah eksis di Eurasia. Mereka sesungguhnya adalah orang-orang Turki (bukan Kanaan). Menyusul kehancuran Imperium Khazaria akibat serbuan Mongol, mereka kemudian bermigrasi ke Eropa. Kaum Yahudi Kanaan berbahasa Ibrani, sedangkan kaum Yahudi Khazaria berbahasa Yiddish. Bahasa Yiddish itu pun tetap digunakan oleh orang Yahudi di Israel saat ini. Terminologi Turki yang digunakan Renan, bukanlah dalam pengertian sempit bangsa Turki saat ini. Sebagai catatan, Turki dalam pengertian ini meliputi suku-suku nomaden yang hidup di kawasan yang luas, mulai dari Asia Tengah hingga Eurasia. Imperium Khazaria sendiri mulai berdiri pada abad ke-7. Suku semi-nomaden Turki ini mengambil alih kawasan tersebut menyusul runtuhnya Kekaisaran Hun pasca kematian Attila the Hun. Teori Khazaria yang disampaikan Ernest Renan kemudian menemukan pembuktian kuat.

Sendada dengan Renan, Profesor Abraham dalam bukunya “Khazariya” mengatakan bahwa bangsa Yahudi (Khazari) itu dapat kita anggap sebagai inti (cikal bakal) bagi pendudukan Yahudi terbesar di wilayah timur Eropa. Realitas menyatakan bahwa mayoritas terbesar orang-orang Yahudi di seluruh dunia, pada saat sekarang ini, berasal dari sebelah timur Eropa. Mereka juga bukan berasal dari tanah Kanaan. Mereka berasal dari Kaukasia yang sejak dulu diyakini sebagai tempat kelahiran ras Aria. Dari segi struktur keturunan, mereka lebih dekat ke kabilah Hon, Uigur dan Magyar, ketimbang kabilah keturunan Nabi Ibrahim AS, Ishaq AS dan Ya'qub AS.

Begitu juga Mihna Yusuf Hadad mengatakan bahwa, orang-orang Yahudi yang merampas Palestina sekarang ini adalah Yahudi Khazar, yang tidak memiliki pertalian apapun dengan Bani Israel, baik etnik, darah ataupun keturunan. Mereka yang memerintah sekarang ini, yang membentuk Negara Israel yang mengklaim “hak historis”, yang menyatakan bahwa diri mereka adalah cucu dari Nabi Ibrahim AS dan Yakub AS adalah orang-orang Zionis. Orang-orang Yahudi sekarang ini adalah hasil dari Yahudisasi, bukan hasil keturunan dari Nabi Ibrahim AS atau dari orang-orang Israel kuno lainnya, kecuali beberapa gelintir Yahudi Timur di negeri Arab yang menjaga garis keturunan mereka dengan cara indogami (kawin antar kerabat), khususnya setelah penaklukan Islam.

Pendapat di atas diperkuat oleh Koestler. Dikatakan olehnya bahwa, Yahudi bukan lagi sebuah ras yang terjaga kemurniannya. Mereka terdiri dari berbagai macam ras yang tidak memiliki keistimewaan apapun. Hal ini ia buktikan dengan menggunakan sandaran fakta-fakta sejarah, studi migrasi bangsa-bangsa dan Yahudi Eropa, antropologi, seperti ilmu humaniora, penemuan ilmiah dan kedokteran, dengan membandingkan bentuk fisik manusia dan golongan darah, serta geneologi. Koestler menggunakan referensi kuat dalam penelitian ini, yakni laporan dari UNESCO yang menolak dengan tegas kemurnian ras Yahudi. Lebih lanjut, menurut Fuad Muhammad Fachruddin, kaum Yahudi tidak pernah menduduki Palestina sebagai satu kesatuan Bangsa, kecuali di masa Nabi Daud AS dan Nabi Ibrahim AS selama 50 tahun.

Muhammad Anwar Guru Besar Ushuluddin Universitas Al-Azhar dalam salah satu tulisannya tentang Yahudi melihat bahwa kandungan gerakan-gerakan Zionis terletak dalam Kitab Suci mereka yang dinamakan protokol. Menjadi jelas, bahwa Zionis pada hakikatnya merupakan gerakan politik yang tidak memiliki hubungan dengan persoalan agama. Zionis menggunakan agama sebagai tameng sehingga gerakan terselubung itu seolah-olah murni didasarkan pada argumen teologis-historis.

Sholeh Hasyim turut menyampaikan kesesuaian pendapat. Dia mengatakan bahwa Yahudi sekarang tidak ada kaitannya dengan Yahudi yang beriman kepada Nabi Musa AS. Adapun klaim mereka terhadap bumi Palestina, itu merupakan pengembangan dari kekufuran mereka terhadap Nabi Musa AS dan Nabi-Nabi sesudahnya. Mereka telah keluar dari tauhid dan syariat yang dibawa oleh Nabi Musa AS. Kebanyakan Yahudi sekarang bukan berasal dari Bani Israil. Orang-orang Yahudi yang merampas wilayah Palestina sekarang, bukan berasal dari keturunan yang dulu pernah bersama-sama hidup dengan Nabi Musa AS. Sekarang, Yahudi keturunan Israil, yang dikenal dengan sebutan Saphardi, tidak lebih dari 20% jumlahnya di dunia. Komunitas ini pun percampuran dari berbagai etnis lain karena pernikahan dan lain-lain. Sebagian kecil dari jumlah di atas, bukanlah asli keturunan Bani Israil. Adapun mayoritas kaum Yahudi di dunia yang mencapai 80%, itu berasal dari Eropa, dan berbagai negara di dunia. Mereka dikenal dengan sebutan Ashkenazi, dimana mereka memasuki ajaran Yahudi yang sarat dengan Paganisme.

Imigrasi ke Palestina bukan hanya dalam hal hidup bersama dalam kesatuan geografis dan entitas ras, atau juga “hak historis” melainkan guna kepentingan kesatuan politik. Dalam kaitan ini Syafiq Jasir mengatakan bahwa sepanjang sejarah manusia tidak ada ditemui adanya “hak historis” sebagaimana yang dimaksudkan oleh Zionis Internasional atas Palestina. Alasan “tanah leluhur” mereka yang telah memerintah sebagian wilayahnya sejak tiga ribu tahun sebelum Masehi tidak dapat dibenarkan. Argumen Jasir tepat, jika logika mereka mendalilkan hak historis, maka konsekuensi logisnya sebagian besar bangsa kontemporer tidak dapat tinggal di wilayah yang kini ini mereka diami. Demikian itu menunjuk pada Amerika Serikat, negara-negara Amerika Latin, Australia, Spanyol dan lain sebagainya

Sejalan dengan Jasir, Mahir Ahmad Agha mengatakan bahwa bangsa Yahudi tidak pernah mayoritas dan bukan penduduk asli Palestina, lebih dari lima abad. Pada masa itu, bangsa Yahudi adalah minoritas di tengah-tengah bangsa Kanaan yang merupakan penduduk asli Palestina sebelum dan sesudah Masehi. Pendapat Agha selaras dengan pernyataan sejarawan dan orientalis terkemuka, Arnold Toynbe. Ditegaskan olehnya bahwa secara legal wilayah Israel, dari dulu sampai sekarang adalah milik bangsa Arab Palestina yang diusir dari rumah-rumah mereka secara paksa. Begitu juga Lord Muin, Gubernur Inggris di Kairo mengatakan, orang-orang Yahudi bukanlah termasuk keturunan bangsa Ibrani, sehingga mereka tidak punya hak untuk menuntut Tanah Suci tersebut.

Patut dipahami, Deklarasi Balfour yang menjadi dasar pendirian negara Israel merupakan kelanjutan dari gelombang imigrasi sebelumnya guna membentuk nasionalisme bangsa Yahudi. Jadi, gelombang kedatangan Yahudi ke Palestina sudah dilakukan sebelum Inggris menyatakan dukungannya terhadap Zionis Yahudi untuk mendirikan rumah nasional di Palestina. Populasi Yahudi di Palestina yang pada awal tahun 1900-an hanya sejumlah 50 ribuan, meroket menjadi sekitar 600 ribuan pada tahun 1948.

Tidak terlupakan, Deklarasi Balfour telah menjadi penyulut peristiwa Nakba, yakni pembersihan etnis Palestina pada tahun 1948 dan penjajahan yang dilakukan oleh Israel. Kala itu, kelompok bersenjata Israel yang dilatih oleh Inggris, secara paksa mengusir lebih dari 750.000 warga Palestina dari tanah air mereka. Israel juga telah melakukan pengusiran dan teror terhadap ras Arab Palestina yang menempati wilayah Palestina demikian lama. Sudah lebih dari 14 abad, semenjak Khalifah Umar bin Khattab RA pada tahun 637 Masehi menaklukan bangsa Romawi atas kekuasaannya di Palestina.

Zionis Internasional telah pula memainkan isu anti-Semitisme. Mereka membangun sentimen terhadap Yahudi ketika Hitler berkuasa dengan aksi holocaust, sehingga meningkatkan gelombang anti-Semitisme. Demikian itu dilakukan secara terstruktur, sistemik dan masif. Zionisme membangun narasi holocaust secara berlebihan. Selain mendapatkan pembayaran ganti rugi dari Jerman dengan jumlah yang besar, namun juga sebagai strategi dan justifikasi pendirian negara Israel di tanah Palestina.

Zionis Internasional telah memainkan standar ganda, yang sulit dicerna dengan akal sehat. Di satu sisi, mereka menginginkan kedaulatan bagi bangsa Yahudi di tanah Palestina dan itu tentunya dengan klaim yang penuh kepalsuan. Di sisi lain, mereka mengadopsi “rasionalisasi kolonialisme” dan memandang bangsa Palestina sebagai pihak yang rendah (inferior). Kemudian, narasi mereka pun berubah dari awalnya “rumah nasional” menjadi “Persemakmuran Yahudi”, dengan otoritas kedaulatan penuh atas pencaplokan tanah Palestina.

Dari dulu hingga sekarang, mereka telah melakukan holocaust (genosida) terhadap bangsa Palestina. Sebelumnya, mereka mengutuk tindakan holocaust Nazi Hilter terhadap umat Yahudi yang diklaim sekitar 6 juta jiwa. Dengan terjadinya holocaust tersebut, umat Yahudi mampu dimobilisasi untuk imigrasi ke Palestina. Padahal tindakan holocaust tersebut memang diketahui dan diinginkan oleh Zionis Internasional. Terlebih lagi, mereka sebagai pihak yang menyulut terjadinya Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Mereka pula yang menanamkan ajaran Darwinisme bagi gerakan fasisme Nazi Hitler.

Kepercayaan terhadap ajaran evolusi Darwin yang memengaruhi Adolf Hilter, diterapkan pula oleh Zionisme terhadap bangsa Palestina. Sama halnya dengan Hitler yang menganggap ras Arya sebagai superior atas Yahudi, demikian pula kaum Zionisme telah menempatkan Yahudi sebagai bangsa yang unggul (superior), sementara bangsa Palestina adalah inferior. Dalam ajaran Zionisme, manusia di luar mereka adalah “goyim” dan itu tidak lebih sebagai binatang. Sebagai manusia yang unggul, maka akan menghancurkan yang lemah, dan ini sejalan dengan ajaran Charles Darwin yang dibentuk oleh kakeknya Erasmus Darmin. Kakek Darwin ini adalah seorang Yahudi paganisme dan merupakan tokoh Masonik. 

Genosida yang dilakukan hingga saat ini adalah juga berasal ajaran Karl Ernst Haushofer. Dia berasal dari keluarga Yahudi-Jerman. Hilter dalam bukunya, “Mein Kampf” membenarkan perang untuk mencapai ekspansionisme Jerman dengan menggunakan Lebensraum (ruang hidup), salah satu ide utama dari Haushofer. Haushofer yang mendasarkan teori geopolitiknya berlaku untuk studi seleksi alam Darwinisme.

Baik Hitler maupun Zionisme menggunakan ruang hidup versi Darwin, bahwa orang-orang yang secara ras lebih unggul memiliki kewajiban moral untuk menyita tanah orang-orang yang lebih rendah. Gagasan ini diterjemahkan ke dalam pemaknaan, bahwa bangsa yang lebih kuat memiliki hak untuk menguasai, dengan kekerasan jika perlu, wilayah yang dianggap perlu oleh bangsa yang lebih kuat untuk kelangsungan hidupnya. Sama halnya dengan Friedrich Ratzel, ia memberikan pandangan bahwa konsep Lebensraum menyatakan tidaklah salah mengambil tanah orang yang lebih lemah. Tindakan tersebut selaras dengan “hukum alam”, sebagaimana diajarkan evolusi Darwin.

Ideologi utama Nazi yang didasarkan pada superioritas rasial dimana orang Yahudi dan kelompok lain, termasuk Roma akan dibunuh, berkesesuian dengan ajaran Yahudi. Sebagaimana terdapat dalam kitab mereka Talmud dan Protocols of the Elders of Zion. Jadi, tindakan holocaust terhadap bangsa Palestina merupakan suatu resultan dari ajaran Yahudi itu sendiri. Dapat dikatakan, holocaust yang diciptakan oleh Zionisme itu bermata dunia. Pada sisi pertama, digunakan untuk terjadinya imigrasi kaum Yahudi ke Palestina. Pada sisi kedua, digunakan agar terwujud emigrasi bangsa Palestina ke luar dari airnya di Palestina.

Uraian di atas memberikan pemahaman bagi kita, bahwa Zionis Internasional telah melakukan kebohongan yang nyata. Bagi mereka, kebenaran adalah kekuatan konspirasi. Jadi, kepalsuan identitas kebangsaan Yahudi adalah bagian dari konspirasi itu sendiri. Kesemuanya itu dimaksudkan dalam rangka pendirian dan pengakuan Negara Yahudi satu-satunya di dunia ini.”

Pusat Pemikiran Al Fatih

Jakarta, Selasa 1 Oktober 2024.

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved