Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan meminta Indonesian Audit Watch (IAW) untuk melengkapi data terkait laporan dugaan fraud oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin, jika laporan tersebut masuk dalam kategori tindak pidana korupsi (Tipikor). Pernyataan ini disampaikan oleh Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, saat menjawab pertanyaan mengenai perkembangan laporan yang diajukan oleh Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus.
Tessa menegaskan bahwa setiap laporan yang diterima KPK akan ditindaklanjuti melalui proses verifikasi dan penelaahan. "Jika pelaporan tersebut memang masuk dalam kategori tindak pidana korupsi yang dapat ditindaklanjuti, pelapor akan diminta untuk melengkapi data dan dokumen yang diperlukan," ujarnya kepada Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL pada Selasa, 29 Oktober 2024.
Sebelumnya, pada Jumat, 18 Oktober 2024, Iskandar Sitorus mengonfirmasi bahwa ia telah melaporkan ST Burhanuddin ke KPK. "Kami melaporkan yang bersangkutan atas tuduhan tidak melaporkan harta kekayaan secara benar dalam LHKPN. Kami menyebutnya sebagai dugaan fraud," jelas Iskandar setelah membuat laporan di KPK, Jakarta.
Dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) untuk periode 2023, Iskandar mencatat bahwa Burhanuddin memiliki total harta kekayaan sebesar Rp11.840.701.499 (Rp11,8 miliar). Namun, terdapat kejanggalan, antara lain terkait alat transportasi yang dilaporkan, di mana Burhanuddin hanya mencantumkan satu unit Toyota Celica Minibus tahun 2002 seharga Rp44.286.750 (Rp44,2 juta).
Iskandar mempertanyakan kepemilikan aset lain seperti motor gede, jam tangan mewah, dan mobil Mercedes yang sering digunakan oleh terlapor namun tidak tercantum dalam LHKPN. "Jika kepemilikan barang-barang tersebut sah secara hukum, mengapa tidak dilaporkan dalam LHKPN?" tanyanya.
IAW juga melaporkan ketidaksesuaian dalam dokumen data kependudukan, akademik, dan dokumen administratif yang diduga sebagai tindakan fraud oleh Burhanuddin. Iskandar menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam riwayat pendidikan Burhanuddin, di mana dokumen yang berbeda mencatat tahun kelulusan dan institusi yang bervariasi.
Bukan hanya itu, Burhanuddin juga tercatat memiliki tiga tahun kelahiran berbeda meskipun di tempat lahir yang sama, yaitu Cirebon. Data resmi di Kejaksaan Agung menyebutkan Burhanuddin lahir pada 17 Juli 1954, sementara KTP elektronik di Bandung menyatakan tanggal lahir 17 Juli 1959, dan KTP serta Kartu Keluarga di Pejaten mencatat 17 Juli 1960.
"Ajaib bisa lahir tiga kali. Dugaan kami mungkin berkaitan dengan data perkawinan yang tidak tunggal," ungkap Iskandar.
Selain itu, IAW juga melaporkan perbedaan tanda tangan Burhanuddin antara masa jabatannya sebagai Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) dan saat menjabat sebagai Jaksa Agung.
Iskandar menambahkan bahwa laporan tersebut juga disampaikan kepada sejumlah pihak, termasuk Presiden Jokowi, Presiden terpilih Prabowo Subianto, Jamwas Kejaksaan Agung, Komisioner Komisi Kejaksaan, Ombudsman, Komisioner KASN, dan Kapolri. Ia berharap Ombudsman dapat menyelidiki dugaan mal-administrasi terkait ijazah Burhanuddin yang dianggap tidak jelas.(*)