Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

**Kejaksaan Agung Menanggapi Aliran Dana ke Tom Lembong: Apakah Harus Ada Bukti Konkrit Sebelum Dinyatakan Korupsi?**

Kejaksaan Agung Memberikan Penjelasan Terkait Penetapan Tom Lembong sebagai Tersangka Kasus Korupsi Impor Gula

Kejaksaan Agung (Kejagung) memberikan penjelasan terkait penetapan Menteri Perdagangan RI 2015–2016 Thomas Trikasih Lembong, yang akrab disapa Tom Lembong, sebagai tersangka dalam dugaan korupsi impor gula.

Tom Lembong dijerat bersama satu orang lainnya, yakni Charles Sitorus, selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia pada periode yang sama. Diduga, negara mengalami kerugian mencapai Rp 400 miliar dalam kasus tersebut.

Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, menyatakan bahwa keterlibatan Tom Lembong hingga menjadi tersangka dalam kasus ini berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki sebagai menteri dalam menentukan regulasi impor gula.

"Pertanyaan saya justru muncul, apakah peristiwa [korupsi] itu bisa muncul kalau tidak ada regulasi?" ujar Harli kepada wartawan di kantornya, pada Kamis (31/10).

"Apakah regulasi [yang dikeluarkannya sebagai menteri] itu benar?" tambahnya.

Dalam pernyataannya sebelumnya, Harli memang menyebut bahwa pihaknya belum bisa memastikan adanya aliran dana yang diterima Tom Lembong terkait kasus tersebut.

Namun, menurut Harli, perbuatan yang disebut sebagai tindak pidana korupsi tidak harus menunggu adanya aliran dana terlebih dahulu kepada pihak yang disangkakan.

"Apakah harus ada aliran dana dulu, baru disebut sebagai tindak pidana korupsi?" tegasnya.

Lebih lanjut, Harli menegaskan bahwa penetapan Tom Lembong sebagai tersangka telah melalui serangkaian pemeriksaan saksi.

"Kita fokus menyelesaikan perkara ini dan sekarang, seperti yang sudah disampaikan, setidaknya ada 90 orang saksi yang sudah diperiksa, termasuk di dalamnya juga ada ahli," ungkap Harli.

Penyidik juga telah menemukan alat bukti yang cukup untuk menaikkan status Tom Lembong sebagai tersangka.

"Terkait dengan alat bukti tentu harus kembali ke [pasal] 184 KUHAP, di situ ada keterangan saksi, ada keterangan ahli, ada surat, ada petunjuk, ada keterangan tersangka atau terdakwa. Menetapkan seseorang menjadi tersangka harus didasarkan pada adanya bukti permulaan yang cukup," imbuh Harli.

"Dari mana bukti permulaan yang cukup? Dari setidaknya dua alat bukti, lalu apa yang menjelaskan itu? Tentunya sudah disampaikan ada 90 orang saksi di situ yang sudah diperiksa," sambungnya.

Ia juga meminta masyarakat untuk tidak berspekulasi bahwa kasus yang menjerat Tom Lembong ini bermuatan politis.

"Biarkanlah penyidikan ini terus menyelesaikan tugasnya. Saya kira masyarakat juga jangan menjadi tendensius, seolah-olah ada politisasi," kata dia.

"Dan kita sudah sampaikan, di mana politisasinya? Tidak ada politisasi, ini murni penegakan hukum," pungkasnya.

Kasus Impor Gula

Dalam kasusnya, pada tahun 2015, berdasarkan rapat koordinasi antar kementerian, disimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula, sehingga tidak perlu impor gula.

Namun, pada tahun yang sama, Thomas Lembong selaku menteri diduga justru mengizinkan persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton kepada perusahaan PT AP. Gula kristal mentah tersebut kemudian diolah menjadi gula kristal putih.

Padahal, yang berhak mengimpor gula kristal putih adalah BUMN, bukan perusahaan swasta. Izin tersebut dikeluarkan tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait.

Pada 28 Desember 2015, dilakukan rapat koordinasi di Kementerian Bidang Perekonomian yang dihadiri oleh kementerian di bawah Kemenko Perekonomian. Salah satu yang dibahas adalah kekurangan gula kristal sebanyak 200 ribu ton pada tahun 2016 untuk stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional.

Berdasarkan informasi yang disajikan secara kronologis, pada November-Desember 2015, Charles Sitorus selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI memerintahkan staf senior manager bahan pokok PT PPI untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula.

Perusahaan-perusahaan tersebut termasuk PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI.

Delapan perusahaan swasta yang mengelola gula kristal mentah menjadi gula kristal putih itu sebenarnya hanya memiliki izin untuk memproduksi gula kristal rafinasi yang diperuntukkan bagi industri makanan, minuman, dan farmasi.

Setelah delapan perusahaan tersebut mengimpor gula mentah dan mengolahnya menjadi gula kristal putih, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut, tetapi sebenarnya gula itu dijual oleh perusahaan swasta ke pasar dengan harga jual Rp 16 ribu, jauh lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET) saat itu, yaitu Rp 13 ribu.

Menurut Kejagung, kerugian negara Rp 400 miliar itu dihitung dari keuntungan yang didapat delapan perusahaan swasta yang melakukan impor dan pengolahan gula. Kejagung menyebutkan keuntungan tersebut didapat PT PPI sebagai BUMN.

Kejagung telah menjerat dua tersangka dalam kasus impor gula tersebut, yakni Tom Lembong dan Charles Sitorus, yang keduanya telah ditahan.(*)

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved