Terdakwa Harvey Moeis mengakui bahwa ia menerima insentif bulanan berkisar antara Rp50 juta hingga Rp100 juta dari Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT), Suparta, karena perannya sebagai perpanjangan tangan perusahaan. Pengakuan ini disampaikan oleh Harvey saat bersaksi dalam kasus dugaan korupsi timah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Senin, 28 Oktober 2024.
Harvey menjelaskan bahwa insentif tersebut diterima melalui transfer ke rekeningnya dengan jumlah yang bervariasi setiap bulannya. "Saya juga baru menyadari hal ini ketika memeriksa rekening koran saya saat diperiksa," ungkap Harvey.
Meskipun demikian, ia menegaskan tidak ada perjanjian tertulis terkait pembayaran atau kuasa perusahaan kepada dirinya atas penugasannya. Harvey mengklaim bahwa ia hanya membantu Suparta dan menganggapnya seperti paman sendiri. "Kerja sama ini juga singkat; saya hanya menghadiri 5-6 pertemuan. Setelah kerja sama dengan smelter PT Timah Tbk selesai, saya tidak lagi mengurus PT RBT," tambahnya.
Dalam sidang tersebut, Harvey bersaksi mengenai kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah yang berlangsung antara tahun 2015 hingga 2022. Selain Harvey, kasus ini juga melibatkan sejumlah terdakwa lainnya, termasuk Pemilik Manfaat PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) Suwito Gunawan alias Awi, Direktur PT Sariwiguna Binasentosa (SBS) Robert Indarto, dan General Manager Operational PT Tinindo Inter Nusa (TIN) periode 2017–2020, Rosalina.
Suwito didakwa menerima aliran dana sebesar Rp2,2 triliun dalam kasus ini, sedangkan Robert menerima Rp1,9 triliun. Dari uang yang diterima, keduanya diduga terlibat dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU). Perbuatan kedua terdakwa diatur dan diancam pidana berdasarkan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 3 atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, meskipun Rosalina didakwa terlibat dalam kasus dugaan korupsi timah, ia tidak menerima uang dan tidak terlibat dalam TPPU. Oleh karena itu, Rosalina terancam pidana berdasarkan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Akibat dari perbuatan para terdakwa dalam kasus dugaan korupsi timah ini, keuangan negara mengalami kerugian yang signifikan, tercatat mencapai Rp300 triliun. Kerugian tersebut mencakup Rp2,28 triliun akibat aktivitas kerja sama sewa-menyewa peralatan pengolahan dengan smelter swasta, Rp26,65 triliun dari pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, serta Rp271,07 triliun terkait kerugian lingkungan.(*)