Shamsi Ali Al-Kajangi*
Mengikuti perkembangan situasi Timur Tengah sejak beberapa tahun terakhir cukup mengecewakan dan mengkhawatirkan. Di satu sisi kekejaman dan kesemena-menaan Israel di tanah jajahannya (Palestina) semakin biadab bagaikan binatang buas di tengah rimba. Pembantaian dan genosida telah merampas nyawa lebih dari 40 ribu kaum sipil, mayoritas di antaranya adalah anak-anak dan kaum wanita/Ibu. Belum lagi mereka yang luka/sakit akibat perang tanpa fasiliats perawatan. Kelaparan dan penyakit massal mengancam. 80 persen infrastruktur hancur, termasuk sekolah, rumah ibadah dan perumahan masyarakat.
Ditambah lagi hari-hari ini serangan Israel ke Libanon yang membabi buta telah menimbulkan ribuan korban. Sementara retaliasi Iran ke Israel dalam beberapa kali sebelumnya masih nampak setengah hati. Belum ada keseriusan membalas kesemena-menaan Israel ke negara berdaulat seperti Iran, Suriah, dan Libanon. Negara Arab diam dalam aksi walau besar mulut dengan kata-kata dan kutukan. Tapi semuanya seolah NATO (no action talk only) bak tong kosong nyaring bunyi tanpa isi.
Sikap dunia Arab dan dunia Islam yang hanya ahli dalam “retorika” dan kutukan (condemnation) itu menjadi tertawaan Israel dan karibnya. Karena sikap itu oleh Israel tak akan terdengar akibat muka tebal dan hati kasat sebagaimana digambarkan dalam Al-quran. Lebih runyam bahkan dalam menyikapi kesemena-menaan Israel sebagian dunia Arab bahkan nampak galak depan kamera namun tersenyum bahkan berangkulan dengan musuh di belakang layar. Jangan heran jika ada negara Arab misalnya yang melarang demo mendukung Palestina. Bahkan mengibarkan bendera Palestina di negara itu bisa dianggap kejahatan (crime).
Situasi negara-negara Arab ini mengingatkan saya sebuah cerita fiktif, namun hikmahnya nyata dalam kehidupan dunia Islam, khususnya dunia Arab masa kini. Cerita itu adalah cerita tiga ekor sapi jantang yang memilki warna yang berbeda-beda. Satu berwarna cokelat. Satu lagi berwarna hitam. Dan satunya berwarna putih. Ketiga sapi ini hidup bersama dengan tenang menikmati rerumputan hijau di kebun yang sama setiap hari. Walau berbeda warna namun tetap rukun karena tetap sadar sebagai sesama sapi dan memiliki tabiat (nature) dan tujuan yang sama.
Namun tanpa mereka sadari, diam-diam di seberang kebun di mana sapi-sapi itu menyantap rerumputan hijau itu ada seekor harimau yang mengintai mereka sejak lama. Namun sang harimau itu tidak berani menyerang karena mereka bertiga selalu bersama-sama. Bagaimanapun mereka secara instink punya rasa kebersamaan dan akan saling membela.
Akan tetapi sang harimau tak putus akal. Dia mendatangi dua dari tiga harimau itu secara diam-diam. Mendatangi sapi yang berwarna putih dan cokelat dan membisikkan bahwa sapi hitam itu nampak lebih besar dan lebih rakus menikmati rerumputan. Tidakkah sebaiknya ditinggalkan sendirian saja sehingga kalian berdua bisa menikmati dengan lebih leluasa dan tenang rerumputan di kebun itu? Kedua sapi itu termakan godaan sang harimau. Mereka berdua menjauh dari sapi hitam. Hingga suatu hari sang harimau menerkam sapi hitam itu dan memakannya.
Beberapa hari kemudian sang harimau mendatangi sapi cokelat yang lebih umum di mata khalayak ramai. Sang harimau menyampaikan bahwa karena warnanya yang unik, sapi putih dianggap Istimewa oleh tuannya dan mendapat bagian dari makanan yang lebih. Sebaiknya sapi cokelat menjauh darinya. Sang sapi cokelat pun termakan bujukan sang harimau. Hingga di saat sendirian sapi putih itupun diterkam dan dimakannya.
Kini tinggal sapi cokelat sendirian. Dia merasa tenang, merasa aman, bahkan merasa jika harimau itu teman yang sangat baik dan akan membelanya jika memerlukan. Tibalah masanya sang harimau memandang sapi cokelat sendirian itu dengan penuh nafsu. Lalu dengan penuh nafsu sang harimau itu menerkamnya dan memakannya pula.
Cerita fiktif ini sesungguhnya dapat dijadikan pelajaran penting bagi dunia Islam, dunia Arab khususnya. Bahwa mereka sejak dulu, minimal sejak tahun 1948 lalu tahun 1967 telah diincar oleh seekor harimau liar di seberang sana. Harimau itu masih berhati-hati tidak menerkam selama mereka masih bersama-sama (menyatu). Tapi harimau itu dengan liciknya berusaha menjadikan sapi-sapi itu (negara-negara Timur Tengah) saling menjauh bahkan saling memangsa. Dan semua karena lahan rumput yang menjanjikan itu (kepentingan nasional sempit masing-masing).
Harimau (Israel) itu sesungguhnya tidak lagi mengincar secara diam-diam dan tersembunyi. Tapi secara terbuka. Keinginan jahatnya tidak lagi disembunyikan. Sang harimau lapar (Israel) ini sedang menunggu momen yang tepat untuk menerkam mangsanya satu demi satu. Masalahnya mangsa-mangsa itu sedang terbuai dengan buaian janji-janji manis dan terlelap dalam mimpi yang indah. Atau sebaliknya digeluti rasa takut yanv ditanamkkan oleh sang harimau (Israel) bahwa di seberang sana ada ada binatang buas lainnya yang akan menerkam mereka (baca Iran).
Bangsa Arab akan dihasut satu per satu. Akan diperhadapkan antara satu dengan lainnya. Apalagi kenyataan bahwa benih-benih permusuhan dan kebencian di antar beberapa negara Arab akibat perang masa lalu masih sangat terasa. Irak vs Saudi vs Libya. Belum lagi Mesir vs Suriah vs Jordan dan seterusnya. Semua menjadi pintu-pintu perpecahan dan konflik yang akan dimainkan oleh harimau liar itu (Israel). Hal yang harusnya disadari oleh dunia Arab bahwa mereka akan disantap satu per satu jika tidak segera tersadarkan.
Realita ini yang pernah diingatkan oleh pemimpin Libya, Muammar Qaddafi, dalam pertemuan negara-negara Arab beberapa tahun lalu. Dan nampaknya ucapan Qaddafi itu mulai terbukti. Satu per satu negara-negara Arab itu terjatuh dalam cengkraman harimau. Ada yang masih dalam pelukan dan dibisiki dengan janji-janji yang menina bobokkan. Ada pula yang sudah dimangsa habis.
Saya hanya berdoa semoga Allah masih menjaga. Aminkan!
Madinah, 2 Oktober 2024
*Presiden Nusantara Foundation