Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

**Dukungan Akademisi Terhadap Mardani H Maming: Menelusuri Aliran Fee Izin Usaha Pertambangan (IUP) Batubara**

Akademisi dan Aktivis Antikorupsi Tiba-tiba Membela Mardani H Maming Terkait Kasus Korupsi IUP

Hari-hari ini, sejumlah akademisi dan aktivis yang mengaku antikorupsi secara mendadak membela eks Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming, terpidana korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tengah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).

Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah. Jika diselipi alat bukti baru, dukungan semacam ini bisa dipahami. Namun, hal itu seharusnya bukan hanya berdasarkan asumsi atau pemikiran semata, terutama jika terdapat motif tertentu yang dapat merusak reputasi mereka.

“Menyampaikan pernyataan dukungan harus disertai minimal dua alat bukti baru. Tidak bisa hanya berlandaskan asumsi,” ungkap mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Haryono Umar, dalam keterangan yang diambil pada Selasa (29/10/2024).

Haryono juga mengingatkan agar seluruh pihak menghormati keputusan hakim, baik pada tingkat pengadilan pertama maupun kasasi, terkait perkara korupsi yang melibatkan mantan Bendahara Umum (Bendum) PBNU tersebut.

Pernyataan Haryono menggarisbawahi fakta bahwa Mardani H Maming telah beberapa kali mengajukan banding dan kasasi terkait kasus suap dan gratifikasi sebesar Rp118 miliar dalam pengurusan IUP PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) yang didirikan oleh almarhum Henry Soetio.

Pada 10 Februari 2023, majelis hakim Pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Heru Kuntjoro, memvonis Mardani bersalah dan menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara serta denda Rp500 juta. Selain itu, Mardani diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp110,6 miliar.

Tidak terima dengan putusan tersebut, Mardani dan jaksa KPK sama-sama mengajukan banding. Namun, dalam proses ini, jaksa KPK berhasil memperberat hukuman Mardani menjadi 12 tahun penjara. Ia kemudian mengajukan kasasi ke MA, tetapi upaya itu ditolak.

Dari rekam jejak hukum yang ada, tampak jelas bahwa pandangan hukum para hakim di pengadilan dari tingkat pertama hingga kasasi konsisten, yang menyatakan bahwa Mardani H Maming memang terlibat dalam penerimaan suap dan gratifikasi.

WhatsApp Image 2024-10-29 at 21.18.29.jpeg

Aliran Fee yang Masuk ke Kantong Mardani H Maming

Kasus korupsi IUP yang melibatkan Mardani H Maming bermula pada tahun 2010, saat ia menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu dan berkenalan dengan Henry Soetio, Direktur Utama PT Prolindo Cipta Nusantara yang ingin berbisnis batu bara di daerah tersebut.

Selama periode itu, Mardani beberapa kali bertemu dengan Henry. Pada pertengahan 2010, Mardani mengenalkan Henry kepada Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (Kadis ESDM) Tanah Bumbu, Dwidjono Putrohadi Sutopo. Dalam pertemuan tersebut, Mardani memerintahkan Dwidjono untuk membantu Henry dalam pengurusan IUP batu bara PT PCN.

Sebagai hasil dari perintah tersebut, Dwidjono menjalankan instruksi Mardani dengan mengalihkan IUP milik PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) kepada PT PCN. Proses ini dituangkan dalam surat peralihan IUP yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Tanah Bumbu Nomor 296 Tahun 2011 yang ditandatangani oleh Mardani H Maming.

Mantan Kepala Hukum Pemkab Tanah Bumbu, Muklis, menyatakan bahwa SK Pengalihan IUP tersebut sudah ditandatangani Mardani sebelum ia meneken dokumen itu. Dalam persidangan, Dwidjono juga mengaku telah mengingatkan Mardani bahwa peralihan IUP tersebut melanggar Undang-Undang Minerba.

Pada tahun 2015, Dwidjono meminjam uang dari Henry untuk modal kerja usaha pertambangan. Lima tahun kemudian, permasalahan muncul ketika ada pihak yang melaporkan Dwidjono ke Kejaksaan Agung, menuduh utang tersebut sebagai suap dan gratifikasi dalam pengurusan IUP PCN.

Walaupun Dwidjono telah membayar utang tersebut dengan cara mencicil, Mardani H Maming juga seharusnya menjadi pihak yang terlapor karena terlibat dalam penandatanganan SK 296/2011.

Menariknya, meskipun Mardani H Maming tidak menerima uang secara langsung terkait pengurusan IUP PCN, ada klausul yang berujung pada penerimaan dana. Mardani mendapati bahwa ia secara tiba-tiba menjadi pemegang saham PT Angsana Terminal Umum (ATU), pelabuhan milik Henry Soetio.

Melalui PT Trans Surya Perkasa (TSP), perusahaan yang dikuasai Mardani dan keluarganya, ia bertugas mengumpulkan fee pelabuhan untuk ATU atau PCN. Dana fee tersebut diduga mengalir kepada Mardani H Maming sebagai imbalan atas bantuan dalam pengalihan IUP dari PT BKPL ke PT PCN.

Ada perjanjian yang mencatat pembagian hasil keuntungan dari kegiatan usaha jasa pelabuhan antara PT ATU dan PT TSP, di mana Mardani H Maming mendapatkan fee sebesar 30 persen dari keuntungan yang dihasilkan dari batu bara yang dimuat di pelabuhan ATU.

Seiring waktu, pengelolaan fee pelabuhan tidak lagi ditangani oleh PT TSP, melainkan dialihkan kepada PT Permata Abadi Raya (PAR) dalam beberapa perjanjian yang ditandatangani.

Sejak 1 April 2020, Mardani H Maming memperoleh fee sebesar Rp5.000 per metrik ton dari batu bara yang dimuat. PT PAR, yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Mardani H Maming dan keluarganya, mengajukan Peninjauan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kepada PT PCN dengan tagihan utang yang mencapai Rp49,5 miliar. Setelah utang dilunasi oleh PCN, PAR kembali mengajukan tagihan sebesar Rp106,3 miliar.

Pada 9 September 2019, Mardani H Maming menjadi pemegang saham PT Batulicin Enam Sembilan, yang juga memiliki saham di PT Batulicin Enam Sembilan Pelabuhan dan PT Permata Abadi Raya, yang menerima fee pelabuhan yang diduga berasal dari PT PCN.

Kepemilikan saham secara tidak langsung Mardani H Maming di Grup PT Batulicin Enam Sembilan juga terindikasi melibatkan keluarga Mardani, menambah kompleksitas dalam kasus ini.(*)

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved