**Penetapan Tom Lembong Sebagai Tersangka Impor Gula Sarat Kepentingan Politik**
Pada 29 Oktober 2024, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Tom Lembong, menteri perdagangan periode 2015-2016, sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang impor gula tahun 2015.
Penetapan tersangka kepada Tom Lembong mengundang tanda tanya besar terhadap sistem peradilan di negeri ini.
Karena penetapan tersangka ini diduga kuat bermotif politik, bukan untuk penegakan hukum yang berkeadilan. Hal ini juga mengancam penegakan demokrasi dan berpotensi membasmi oposisi.
Kejanggalan atas penetapan status tersangka kepada Tom Lembong dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tom Lembong dituduh menyalahgunakan wewenang dalam pemberian izin impor gula kristal mentah (raw sugar) sebanyak 105.000 ton kepada perusahaan swasta, PT AP, untuk diolah menjadi gula kristal putih (gula konsumsi) pada tahun 2015.
Menurut Kejagung, pemberian izin impor gula kristal mentah tersebut melanggar aturan tentang ketentuan impor gula.
Pertama, menurut Kejagung, Tom Lembong memberi izin impor gula ketika Indonesia sedang mengalami surplus gula, sehingga seharusnya tidak perlu impor.
Hal ini disampaikan Direktur Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, seperti dikutip dari media. Ia menyatakan, "Berdasarkan rapat koordinasi antar kementerian pada Mei 2015, telah disimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak perlu impor gula," kata Qohar dalam konferensi pers, Selasa, (29/10/2024).
Sebagai catatan, Tom Lembong belum menjabat Menteri Perdagangan pada Mei 2015. Ia menjabat Menteri Perdagangan dari 12 Agustus 2015 sampai 27 Juli 2016.
Alasan bahwa Indonesia mengalami surplus gula sangat mengada-ada. Indonesia sejak lama merupakan negara net-importir gula.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan volume impor gula naik terus, dari 1.119.790 ton pada 2004 menjadi 2.933.823 ton pada 2014 dan 3.369.941 ton pada 2015. Angka tersebut kemudian naik lagi mencapai 5,5 juta ton pada 2020 dan 6 juta ton pada 2022.
Maka itu, sekali lagi, bagaimana mungkin Indonesia mengalami surplus gula pada 2015?
Apalagi, pemberian izin impor gula kristal mentah tersebut hanya 105.000 ton saja untuk keperluan industri, yang merupakan sekitar 3,1 persen dari total impor gula tahun 2015.
Jumlah tersebut sangat kecil dan tidak signifikan dibandingkan total impor gula tahun 2015, sehingga otomatis bertentangan dengan tuduhan “menyalahgunakan wewenang”.
Kedua, Kejagung berpendapat bahwa izin impor gula kristal putih hanya dapat diberikan kepada BUMN. Oleh karena itu, menurut Kejagung, Tom Lembong melanggar peraturan ini dengan menyalahgunakan wewenang karena memberi izin impor gula kepada perusahaan swasta, PT AP.
Alasan Kejagung terkesan mengaburkan permasalahan sebenarnya serta memutarbalikkan fakta.
Memang benar bahwa yang boleh impor gula kristal putih adalah perusahaan BUMN. Namun, itu tidak relevan untuk kasus Tom Lembong.
Karena izin impor yang diberikan Tom Lembong kepada perusahaan swasta yang sudah mempunyai izin impor gula (IP Gula atau API-P) adalah gula kristal mentah, yaitu bahan baku hilirisasi untuk diproses menjadi gula kristal rafinasi dan gula kristal putih.
Hal ini sah menurut peraturan ketentuan impor gula yang berlaku ketika itu. Artinya, Tom Lembong tidak melanggar aturan.
Kemudian, Tom Lembong dituduh atas kasus pemberian izin impor gula yang terjadi tahun 2015.
Kasus ini sebetulnya sangat sederhana dan mudah dibuktikan. Karena semua dokumen pemberian izin impor tersimpan di Kementerian Perdagangan. Hanya dengan melakukan audit internal saja, semuanya akan terbuka.
Anehnya, Kejagung memerlukan waktu hampir 10 tahun untuk menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka. Kenapa begitu lama untuk kasus yang sangat sederhana ini?
Alasan penetapan tersangka kepada Tom Lembong juga terkesan mengada-ada dan tidak masuk akal.
Sejauh ini, Kejagung tidak menemukan aliran dana fee kepada Tom Lembong. Mereka masih mencarinya, namun penting untuk menetapkan tersangka dulu. Bukti belakangan?
Tanpa dua alat bukti yang sah, penetapan tersangka dan penahanan terhadap Tom Lembong tidak sah secara hukum.
Oleh karena itu, atas nama keadilan dan hukum, Tom Lembong harus segera dibebaskan.
Yang lebih hebat lagi, ada mobilisasi publikasi secara sistematis untuk menghakimi Tom Lembong seakan-akan sudah bersalah, mengabaikan azas praduga tidak bersalah.
Nampaknya ada kesengajaan grand design pembunuhan karakter terhadap Tom Lembong.(*)