Penulis: Ali Syarief Fusilatnews
Sejak pertama kali naik ke tampuk kekuasaan, Joko Widodo atau Jokowi telah menimbulkan berbagai perdebatan.
Ia datang dengan janji-janji besar—membangun infrastruktur, memberantas korupsi, dan memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Namun, sembilan tahun setelahnya, semakin banyak yang menyadari bahwa Jokowi mungkin tidak pernah memiliki kemampuan yang memadai untuk memimpin negeri ini.
Tidak hanya kekurangan visi dan kecakapan, Jokowi juga tidak menunjukkan kemampuan dasar yang seharusnya dimiliki seorang pemimpin negara sebesar Indonesia.
Kini, ia bersiap lengser tanpa kehormatan, dan kita sedang menyaksikan kenyataan tersebut. Lebih dari sekadar penurunan popularitas, warisan kepemimpinan Jokowi penuh dengan kebingungan, ketidakmampuan, dan ketidakberdayaan dalam menghadapi tantangan bangsa.
Yang lebih mengkhawatirkan, gambaran serupa kemungkinan besar akan terjadi pada anaknya, Gibran Rakabuming Raka, yang terpilih sebagai Wakil Presiden. Seperti bapaknya, ia pun diragukan kapasitasnya.
Dengan rekam jejak yang minim dan kecakapan kepemimpinan yang belum terbukti, rakyat Indonesia harus mempersiapkan diri menghadapi kepemimpinan yang mungkin lebih buruk.
Ungkapan Latin “que extendit sine labore, descendit sine honore” (yang berarti “dia naik tanpa kemampuan, dia turun tanpa kehormatan”) seolah menggambarkan perjalanan politik Jokowi.
Naik ke panggung kekuasaan tanpa bekal kompetensi yang memadai, kini ia berada di ambang sejarah yang mencatatnya sebagai pemimpin yang gagal memikul amanah dengan baik.
Kegagalan dalam Komunikasi
Salah satu kelemahan paling mencolok dari kepemimpinan Jokowi adalah ketidakmampuannya dalam berkomunikasi secara efektif, baik kepada rakyatnya maupun kepada pejabat pemerintahannya sendiri.
Komunikasi yang terputus-putus dan seringkali ambigu membuat kebijakan-kebijakan yang ia keluarkan sulit dipahami.
Ketika rakyat memerlukan kepastian, Jokowi sering memberikan jawaban yang tidak konkrit, menghindari persoalan utama, atau berbicara dalam istilah yang mengaburkan substansi.
Pada masa pandemi COVID-19, misalnya, ketidakjelasan arahan pemerintah dalam merespons krisis memperburuk keadaan di lapangan.
Di sisi lain, komunikasi yang buruk dengan birokrasi dan pemangku kepentingan lainnya menyebabkan pelaksanaan kebijakan yang berantakan.
Dalam banyak hal, Jokowi terkesan tidak dapat mengendalikan atau memimpin diskusi di antara lingkaran kekuasaannya, sehingga banyak keputusan diambil oleh pihak-pihak di sekitarnya, bukan atas inisiatif atau kepemimpinannya sendiri.
Kepemimpinan yang Lemah
Kepemimpinan yang kuat bukan hanya soal menyusun rencana besar, tetapi juga tentang kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat di saat-saat krisis. Jokowi berulang kali menunjukkan kelemahan dalam hal ini.
Ia kerap menunda keputusan penting atau membuat keputusan setengah matang yang kemudian harus dikoreksi atau dibatalkan.
Sebuah negara sebesar Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang mampu mengambil langkah tegas dan tepat, namun Jokowi sering kali terjebak dalam keragu-raguan.
Selain itu, tidak ada visi yang jelas dalam arah pembangunan nasional. Proyek-proyek infrastruktur besar yang digembar-gemborkan oleh pemerintah justru tidak disertai dengan pendekatan yang terintegrasi dalam mengatasi masalah mendasar bangsa.
Akibatnya, banyak proyek berakhir sebagai sekadar simbol pembangunan, tetapi tidak memberikan dampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat.
Minim Literasi Kebijakan Publik
Salah satu persoalan mendasar dalam kepemimpinan Jokowi adalah minimnya literasi kebijakan publik dan penguasaan isu-isu penting yang dihadapi bangsa.
Sebagai pemimpin, ia diharapkan memahami dengan baik bidang-bidang seperti ekonomi, politik, hukum, dan hubungan internasional.
Namun, dalam berbagai kesempatan, Jokowi sering kali menunjukkan ketidakmampuan untuk memahami masalah-masalah kompleks yang ada di depannya.
Jawaban yang dangkal dan sering kali tidak berhubungan dengan persoalan inti menimbulkan keraguan tentang seberapa dalam pemahaman Jokowi terhadap isu-isu krusial negara.
Kebijakan yang dikeluarkan kerap terkesan dangkal dan tidak melalui kajian mendalam. Dampaknya jelas, banyak kebijakan yang gagal menyentuh akar persoalan, sementara beban utang negara terus meningkat.
Ketidakmampuan Jokowi untuk memahami konsekuensi jangka panjang dari kebijakannya menimbulkan kekhawatiran di kalangan akademisi, ekonom, dan rakyat yang harus menanggung beban tersebut.
Rakyat Menjadi Korban
Yang paling menyedihkan dari kegagalan kepemimpinan Jokowi adalah dampaknya terhadap rakyat. Kesulitan ekonomi, ketidakadilan hukum, serta lemahnya penegakan supremasi hukum membuat rakyat Indonesia menjadi korban dari kebijakan yang tidak efektif.
Kesenjangan sosial semakin melebar, sementara korupsi terus menggerogoti tubuh pemerintahan. Janji-janji besar seperti pembangunan infrastruktur tidak mampu menjawab kebutuhan mendasar rakyat akan lapangan kerja, pendidikan, dan kesehatan yang layak.
Sementara itu, sektor pertanian dan industri dalam negeri mengalami kemunduran. Indonesia yang dahulu dikenal sebagai negara agraris dan pusat rempah-rempah, kini justru menjadi pengimpor utama berbagai komoditas penting.
Impor beras, garam, dan jagung menjadi bukti kegagalan pemerintah dalam membangun kemandirian ekonomi yang berkelanjutan.
Warisan Kepemimpinan yang Suram
Ketika Jokowi lengser, ia tidak meninggalkan warisan yang membanggakan. Selain infrastruktur fisik yang kerap dibanggakan, tidak ada perubahan fundamental yang membuat Indonesia lebih baik dari sebelumnya.
Sistem birokrasi tetap korup, hukum masih tumpul ke atas tajam ke bawah, dan rakyat semakin tidak percaya pada institusi pemerintahan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, estafet kepemimpinan berpotensi jatuh kepada Gibran, anaknya, yang terpilih sebagai Wakil Presiden.
Tanpa pengalaman yang memadai, kepemimpinan Gibran hanya memperpanjang bayang-bayang nepotisme dan ketidakcakapan dalam memimpin negara.
Rakyat Indonesia tentu berhak bertanya, apa yang bisa dilakukan Gibran untuk negara ini, ketika bapaknya sendiri gagal memimpin dengan baik?
Kesimpulan
Jokowi naik ke panggung kekuasaan tanpa bekal kemampuan yang cukup dan kini bersiap lengser tanpa kehormatan. Ungkapan “que extendit sine labore, descendit sine honore” tepat menggambarkan situasi ini.
Rakyat Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu memahami persoalan mendasar bangsa, yang memiliki visi jelas, serta kemampuan untuk berkomunikasi dan memimpin dengan tegas.
Kegagalan Jokowi dalam hal ini tidak boleh lagi terulang, karena nasib negara dan rakyat Indonesia dipertaruhkan.